Wakil Hati dan Pikiran

Kemana pun kamu pergi tidak peduli sejauh apa tempatnya, pada akhirnya kamu akan kembali dan jika seandainya kamu tidak kembali, pasti kamu sudah lupa cara pulang atau kamu lupa jika di sini ada yang sedang menunggumu pulang. Pada akhirnya kamu akan pergi dan tidak kembali pulang. Sama sepertiku. Mungkin aku akan pergi dan tidak kembali pulang. Suatu saat kita akan berada di dua dimensi.
 

Tulisan ini mewakili hati dan pikiran. Mungkin lebih teruntuk kamu sosok special, huruf abjad kedua puluh enam. Huruf terakhir penuh misteri. Yang aku jadikan subjek penulisanku akhir akhir ini dan menjadi tema di blog ini.
 

Untuk apa aku selalu menulis sajak disaat aku merindukanmu. Bukankah aku yang telah melepasmu, seharusnya aku bisa lapang dada membiarkanmu tanpa kehadiranku. Seharusnya aku tidak merindumu. Karena kebebasan yang kini dirasakan. Tanpa batas? Iya. Jika saja aku tetap denganmu, mungkin kekecewaan lagi yang kudapatkan. Bukan terkekang. Tapi sebuah kenyamanan yang sempat hadir.
 

Lalu untuk apa aku sekarang menghubungimu? Rindu? Itu sudah jelas. Tapi apa yang kamu balas dari rinduku? Nyatanya kamu mencampakkan aku. Apa ini balasanmu yang aku harapkan? Tidak. Sangat tidak. Apa memang benar kamu menertawaiku karena sampai saat ini aku belum sukses melupakanmu.
 

Lalu bagaimana ikrarku kepadamu? Tentang sebuah janji untuk setia menunggumu. Menunggu 7 bulanmu pendidikan polisi. Memang ini janjiku yang aku buat sendiri. Tapi sadarkah bahwa ini bukti cintaku sesungguhnya. Apa kamu kira menunggu itu mudah? Tidak. Di sini aku selalu berperang dengan hati dan pikiranku.
 

Apa kamu pikir bahwa aku melepasmu karna ku tidak lagi mencintaimu atau bahkan tidak menginginkanmu lagi? Tidak. Aku tetaplah mencintaimu. Bahkan aku selalu menginginkamu di dekatku.  Aku menyayangimu. Tapi, cintaku kepadamu karna Allah. Itulah mengapa aku berani melepas cintaku. Karna ku ingin menjaga cintaku tetap utuh, dan ku tahu bahwa Allah akan menjaga cintaku. Dalam agama kita pun telah tertulis bahwa ikatan diantara kita saat itu adalah sebuah dosa. Aku tidak mau cintaku mengarah ke neraka. Kamu pun sudah tahu alasanku untuk melepas. Lebih baik begini. Karna kita pun bersatu tanpa orang tua tahu. Sama saja yang kita lakukan adalah dusta dan pengkhiatan.
 

Tentang kekecawaan yang selalu kamu buat, apa aku akan selalu dibuatmu kecewa? Iya, tapi itu dulu. Dan ku yakini itu, bahwa mungkin setelah ini tidak lagi rasa kecewa yang kamu buat. Dari sini aku dapat belajar darimu. Dari rasa kecewa yang kamu ciptakan. Mungkin kamu juga belajar saat aku marah kepadamu.
 

Memang benar kata orang, ujian cinta sejati itu berat dan penuh jalan kerikil dan bebatuan yang besar. Tapi ku tidak meyakini bahwa cinta ini adalah cinta sejati. Karna cinta sejati di dunia ini sangatlah mustahil, jika memang Allah mentakdirkan itu ada maka seberapa besar cinta yang digetarkanNya dari kedua hati yang berbeda. Apakah perjuangan? Kematian? Kesetiaan? Pengorbanan? Semua itu apakah hadir diantara kita? Tidak mungkinkah aku katakan.
 

Tentang kebahagiaan yang aku rasakan saat ini. Aku memang bahagia melihatmu yang sekarang. Tapi kebahagiaanku sudah hadir sejak lama. Sejak bertemu dan mengenalmu. Bahkan menjadi sosok spesialmu. Menjadi sosok yang kamu perhatikan dan perdulikan. Menjadi tempat untuk kamu nyaman. Menjadi prioritasmu sesaat. Memang Allah telah mentakdirkan kita untuk bertemu, Allah lah yang membuat getaran itu muncul di hatiku. Bahkan sampai pada hatimu. Tidak peduliku dengan ketampananmu. Dengan kepintaranmu. Dengan kenakalanmu. Dengan kekuranganmu. Bahkan dengan kelebihanmu. Tapi dengan sikapmu. Bukan menggila. Bukan mendamba. Aku tidak menggilaimu. Bahkan tidak mendamba cintamu.
 

Apa mungkin kamu akan percaya? Jawabku tidak. Percayakah kamu bahwa aku sudah menyayangimu sejak pertama kali bertemu. Dan sudah lama aku menyimpan rasa.
Apakah aku orang yang pintar dalam memendam rasa? Tidak. itu sulit. Sulit ketika aku tahu bahwa kamu mencintai wanita lain saat itu. Kamu mendambanya. Kamu selalu memandangnya sempurna. Bahkan kamu ingin menjadi perisainya. Tiap kali kamu bercerita tentang dia. Aku hanya bisa mendengar dan menjawab seadanya. Lapang dadaku menerima semua itu. Aku tidak marah. Bahkan memohon kepadamu untuk mengerti. Aku tetap bungkam. Dibilang pengorbanan? Itu bukan pengorbanan. Tapi kerelaan hati. Tentang sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan melihat seorang pria yang aku sayangi bahagia.

Tentang rasa kecewa. Sebenarnya aku tidak ingin mengulas permasalahan yang sebenarnya hampir semotif. Bosan? Ya jelas. Sapa yang tidak bosan dengan permasalahan yang hanya itu itu saja, karena dari permasalahan itu lah seseorang dapat belajar dan merevolusi diri kedepannya. Menjadi tolak ukur agar menjadi manusia dengan pribadi yang baik. Tapi ketahuilah sesungguhnya sangat sederhana untuk bisa kamu pahami dari semua permasalahan itu. Aku hanya ingin hubungan ini lebih terbuka satu sama lain, ya dari sini kita bisa saling percaya.  Selama ini setelah kita terikat, semua tentang mu dan segala keadaannya selalu orang lain tau lebih dulu daripada aku. seharusnya aku tau lebih dulu daripada orang lain yang bukan tanda kutip dalam kehidupan mu. Bukan maksudku untuk mengekang, tapi itulah sebuah hubungan. Bagaimana mungkin orang kepercayaan kita tidak tersakiti ketika mengetahui orang lain yang lebih mengerti terlebih dahulu tentang sosok yang kita kenali sangat dekat? Ketika itulah aku sempat berpikir dimana posisiku saat itu, padahal pada kenyataannya aku sudah memiliki ikatan denganmu. Dari sini aku berbesar hati menelan ludahku sendiri dan merasa tersakiti sekaligus dikhianati. Tapi dari sini aku juga belajar lebih mengenal sosok sepertimu. Dan ternyata setelah semua yang terlewat, kamu memang sosok seperti itu. Sosok yang tidak gampang terbuka soal pribadinya dengan orang terdekat, namun sangat riskan terbuka dan bercerita soal pribadi dengan orang lain. Walaupun ku tidak tahu kebenarannya seperti apa. hanya dirimu yang sepatutnya membenahi semua itu. Padahal sebenarnya aku masih ingin memperbaiki yang telah rusak denganmu, tapi ku tahu itu sulit dan bahkan mustahil. Yang ku tahu sampai detik ini aku masih merasa kecewa berat mengetahui bahwa kamu lebih memilih dia sebagai tempat bercerita mu yang baru, dan bahkan kamu sendiri yang melanggar komitmen itu. Hal seperti ini yang tidak aku inginkan, seharusnya konsistensi sudah ada pada diri mu yang saat itu akan menjadi seorang pengabdi negara. Bukan soal ekspektasi. Bukan. Tapi ini sebuah harapan? Harapanku yang sebagaimana aku dan kamu sama sama berkembang meraih impian di atas sana, dengan segala perspektif kehidupan dan dinamika sebuah hubungan. Mungkin aku menulis semua ini akan kamu anggap sebagai kesalahpahaman lagi.

Tentang kenangan saat kita bersatu. Tentang komitmen yang dibuat. Tentang menghormati. Tentang kasih sayang. Tentang kepedulian. Tentang hujan dan panas. Salah satunya tentang kekecewaan. Tidak lagi aku berbicara tentang kekecewaan. Aku akan berbicara tentang kenangan. Saat pertama kali kamu mulai peduli denganku. Saat pada akhirnya aku tahu tentang perasaanmu kepadaku. Saat aku dibuatmu kecewa untuk pertama kali. Saat aku memberikanmu kesempatan. Saat kita di dalam kelas. Ngerjakan tugas bareng. Ngerjakan soal ulangan. Baca Al Qur’an bareng. Duduk bersama berdampingan. Dengerin guru yang nerangin. Lihat dan curi curi pandang. Saat ujian praktek. Saat ulang tahun sekolah. Memandang pertunjukan bareng. Foto bareng. Makan di kantin bareng. Ngobrol di kantin bareng. Ke masjid bareng. Sholat bareng. Saat jam kosong ada. Nonton film bareng. Nungguin aku ngerjain tugas sekretaris (yang waktunya pulang akhirnya ngga pulang). Saat olahraga, bercanda bareng. Saling support pas ada penilaian. Lihat kamu tanding di gor (ini pertama kalinya aku lihat pertandingan futsal) dan akhirnya timmu juara satu. Support kamu pas mau latihan, bahkan mau tanding. Pulang bareng. Ke parkiran bareng. Pas ngerjain lomba Mading 3D Hilo. Ke kopsis bareng. Support kamu pas mau terapi dan tes. Tiap habis sholat aku selalu doain kamu. Semua itu kenanganku sama kamu. Bertambahnya waktu. Mungkin kenangan ini akan sirna dalam pikiranku. Karna itu aku abadikan dalam tulisanku.
 

Yang ku rasakan sejujurnya? Merasa bahwa kamu berubah. Mungkin ini hanya persepsiku sementara. Mendengar. Melihat. Semua indraku bahkan tidak mampu berjalan. Aku mungkin memang buta hati. Tidak bisa melihat mana kejujuranmu dan kebohonganmu. Semua itu karna jarak dan waktu. Tindakan yang kamu lakukan kepadaku sempat membuatku lemah. Aku bangkit karna support dan doa orang-orang di sekitarku. Teman. Sahabat. Saudara kembarku, bahkan keluargaku. Tapi, mereka semua selalu berpesan batas. Batas bahwa aku dan kamu sekarang berada pada tingkat roda kehidupan. Kamu di atas dan aku di bawah. Mereka mengingatkan bahwa mungkin kamu akan mencari pasangan dengan pangkat yang setara denganmu. Sempat ku berpikir bahwa kamu akan mencari seorang wanita yang seprofesi denganmu. Mungkin itu akan menjadi nyata. Tapi aku sendiri malah merasa ketakutan. Takut akan keterpurukanmu. Takut dengan pangkat yang kamu genggam. Bahwa nanti. Saat seorang wanita yang hadir dalam kehidupanmu akan memiliki dua tujuan. Tujuan itu karna harta atau karna sebuah ketulusan hati. Ketulusan hati bahwa dia juga harus berjuang berkorban sama sepertimu. Mengabdi negara. Merelakan jiwa dan raga ketika kamu sedang bertugas.
 

Kamu berpesan bahwa aku harus fokus dengan kuliah dan karirku nanti. Iya. Aku terima pesanmu itu. Tapi, ketahuilah bahwa aku sudah fokus kuliah sejak lama. Sebelum kamu berpesan. Aku sudah berjuang dan serius dengan kuliah yang aku tempuh. Aku nyaman di sini. Insya Allah kuliahku diberi lancar oleh Allah. Mendapatkan beasiswa dan meraih prestasi. Lulus dengan IP terbaik dan skripsi yang cepat disetujui. Melamar pekerjaan dan diterima di instansi yang cukup membanggakan. Melanjutkan S2 dengan biaya pekerjaanku sendiri. Semua impian itu sudah menjadi target untukku kedepannya. Bismillah Allah akan mendengar dan mengabulkan semua doaku. Aku selalu berikhtiar dan optimis. Hasilnya aku bertawakkal. Jika memang tercapai, Alhamdulillah aku dapat membahagiakan orang tuaku.
 

Semoga Allah membahagiakanmu di sana. Sama seperti aku di sini. Di sini aku teramat bahagia karena aku akan selalu menjaga cinta dalam kehormatan hatiku dengan Islam. Ketenangan ini mampu menemaniku dalam menjaga ikrarku untukmu. Aku memang tidak tahu. Kapan ini akan berujung? Allah lebih tau. Dia telah menyiapkan sebuah jawaban atas doaku pada seribu tahun yang lalu. Nama jodohku sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Karna itu hatiku tidak punya nyali. Karna itu aku tidak akan berharap lebih darimu. Karna itu aku sudah siap untuk kecewa.
 

Belajar ikhlas itu lebih baik. Namun sulit. Jika memang kamu bukan adamku. Dan aku bukan hawamu. Pada bulan terakhir ketika kamu selesai pendidikan. Berilah aku jawaban kepastian atas kesetiaanku menunggumu. Aku akan bebesar hati mendengarnya. Ingatlah bahwa doa baikku akan selalu tentangmu. Tentang kesuksesanmu membahagiakan orang tua dan keluarga. Siapapun sosok wanita yang akan menemanimu di masa depan hingga ke surga Allah kelak, bismillah aku akan rela melihatmu bersamanya. Karna aku tersadar. Derajatku denganmu di dunia ini adalah rendah. Kamu mungkin akan menjadi raja di istana dengan pangkat yang kamu dapatkan. Mungkin kamu akan menggila tentang tahta harta dan wanita.

Tentang persinggahan. Memang benar aku sempat singgah di hati dan masuk dalam sejarah kehidupan mu. Tapi persinggahanku itu sebenarnya semu, yg nyata ada dalam ruang hatiku. Sejak bertemu dan mengenal mu aku selalu berusaha menjadi sosok yang membuatmu nyaman. Tak peduliku ketika itu kamu bercerita tentang sosok wanita yang kamu idamkan sebelumku. Bahkan mungkin saat itu kamu hanya menganggapku sekedar teman. Tidak apa bagiku. Hingga akhirnya kita lebih dari sekedar teman, aku memilihmu walaupun orang disekitar ku menolak dan tidak setuju jika aku lebih memilih mu daripada lelaki lain yang juga mendekati ku. Bukan kecantikan dan kebanggaan ku karna banyak lelaki yang harus aku pilih. Tapi prinsipku adalah sebuah kesetiaan, tanggung jawab dan konsistensi. Terlalu banyak hal yang dipertimbangkan. Justru sahabat tidak bisa membantu ku walaupun mereka tahu isi hatiku sebenarnya. Banyak yang menilai kalau kamu lelaki mata jelalatan, banyak koleksi cewek, dan apalah apalah. Bahkan aku dipaksa untuk memilih dari segi fisik, mereka tidak tanggung tanggung untuk bilang kalau kamu itu jelek, dan seharusnya aku lebih memilih yang lebih tampan dari mu. Ku pikir mereka hanya melihat satu sisi dari dirimu. Tidak mengenalmu lebih dalam dengan mengerti naluri lelaki itu seperti apa sebenarnya. Apa mungkin memang benar jika seumuran begitu pikiran masih bisa dibilang cetek. Tak peduli kudengan semua omongan itu, apa mungkin aku terlalu percaya kepadamu?-hingga akhirnya aku tak peduli dan percaya dengan sahabatku sendiri. Tapi percayalah bukan maksudku menggila. Karena aku melihatmu dengan sisi kemanusiaan. Hingga akhirnya aku berusaha menjadi tempat curhat dan penyemangat mu (yang katamu paling fanatik) walaupun ku tahu aku sebenarnya orang yang flat dan biasa saja perihal penyemangat (apalagi soal olahraga). Aku yg sudah terikat dengan mu, dan kutahu kelemahan mu yang buta warna (yang ku tahu ini penyakit turunan), aku lebih memilih tetap denganmu dan tidak pindah ke lain hati. Hingga akhirnya aku juga selalu berusaha disaat kamu merasa tertekan karena ketidak percayaan mu dengan keahlian mu, berusaha ku menyadarkan kisah kisah inspiratif yang dapat memotivasi kamu untuk tetap semangat. Walaupun ku tahu usahaku tidak sebanding dengan usaha orang tuamu dan perjuangan mu sendiri. Semua itu aku lakukan dengan ketulusan hatiku. Sampai pada akhirnya kamu berusaha meraih cita cita mu yang dapat membahagiakan orang tuamu. Menjadi seorang ksatria tangguh pelopor keadilan yang dapat mensejahterakan rakyat. Kamu banyak bercerita semua sejarah yang pernah ada dalam hidupmu hingga semua impianmu. Aku begitu tertarik dan semakin tinggi rasa peduliku dan perhatian ku, karena hal inilah aku tetap sabar walaupun berulang kali kamu membuatku kecewa. Semua pengorbanan mu untuk meraih impianmu juga ikut menggetarkan jiwaku, teringat ketika itu setiap pulang sekolah kamu selalu ada jadwal rutin buat terapi dan segala macamnya (yg mempersiapkan mu untuk bisa meraih semua impian mu yang utuh). Peranku hanya sebagai penyemangat saja. Sama ketika kamu menjadi penyemangatku ketika aku akan lomba (terutama lomba 3D hilo, yang semua keluarga xii ipa 6 ikut berpartisipasi giat berkorbar semangat yang penuh optimis), dan ketika aku berusaha memenuhi tanggung jawab ku sebagai sekretaris kelas (yang berulang kali revisi absen dan input nilai buat persyaratan SNMPTN), hingga akhirnya pulang kehujanan dan rela sakit  (dan aku masih teringat ketika aku tidur di uks karena merasa lemas, kamu disampingku dan kutidak tahu itu, pedulimu memberikan ku obat, hingga sampai saat ini obat itu tersisa dan masih ku simpan, yaa ternyata sekarang sangat berguna juga pas aku lagi sakit gara gara drop kegiatan kuliah yang terlalu ontime)  dan bertahan demi rasa sayang dan peduliku dengan semua teman temanku, walaupun aku telah tersadar aku hanya bagaikan kelopak bunga, yang didatangi oleh seekor lebah hanya untuk diambil sari nya, setelah itu lebah akan pergi seketika. Tapi semua yang kulakukan sebenarnya tulus walaupun ngedumel dalam hati karena sering tersakiti.

Semua hal yang kita lewati pada saat kamu di posisi nol, mungkin hanya sebatas kenang yang tidak pantas diabadikan. Karena yang pantas terukir dan diabadikan ketika kamu telah di posisi beribu nol.

Jika memang kepastianmu tetap bersama ku. Aku berharap kamu bisa menerimaku dengan segala keadaan yang kupunya. Keihklasan mengetahui besar kesetiaanku dan rasa cinta yang tumbuh di hatiku. Karna sesungguhnya ku masih lumpuh tak berdaya.
 

Hingga hari ini kita sebenarnya masih mengemis dan menangis darah. Berusaha mengejar sebuah asa. Suatu saat nanti kita akan mencicipi manisnya sebuah kesabaran, entah akan mencicipi bersama atau pun sendiri sendiri. Karna maya akan menjadi nyata. Nyata pun bisa menjadi maya jika semua itu hanya ilusi.

Tak Tersampaikan
Cuplikan 48
Sajak Pertama

Comments

Popular posts from this blog

Teks Drama Bahasa Inggris "Legend Banyuwangi"

Resensi Buku Non Fiksi "Biografi Agus Muhadi"