Pilih Ta'aruf atau Pacaran Islami?
Sebuah SMS menggetarkan telepon genggamnya. Si gadis sontak
terbangun dan sigap membacanya. Selamat qiyamullail
Ukhti, semoga segala doa terbaiknya Allah kabulkan. Sender : Ikhwan D
+62838xxx, 02.30
Senyumnya
pun merekah, terasa ada yang hangat mengalir di dada. Dikirimnya sebait doa
balasan. Lalu dengan riang ia turun dari tempat tidur, untuk segera berwudhu
dan shalat malam.
‘Merah Jambu’ pacaran
Islami
Fenomena
SMS ‘merah jambu’ semakin mewabah seiring dengan mudahnya mengirim pesan instan
melalui handphone. Hubungan diam-diam
terjalin. Hanya mereka berdua dan Allah saja yang tahu betapa di sana ada
perhatian, ada dada yang berdesir hangat dan berdegup lebih kencang, dan jelas
ada rasa suka di antara si pengirim dan penerima pesan. Mereka jalani dengan
penuh kesadaran karena inilah hubungan yang halal menurut mereka; pacaran
Islami. Terbebas dari bersentuhan atau berduaan, komunikasi selalu dalam rangka
saling memberi semangat.
Tapi tunggu
dulu, memang ada ya, pacaran Islami? Sebagian kaum Muslimin yakin menganggapnya
ada dan boleh. Buktinya, SMS ‘merah jambu’ bukan hal yang aneh saat ini,
ditambah fenomena muda mudi – yang berbusana Muslim – tak segan memamerkan
kedekatan mereka di ruang public.
Pacaran
Islami pun didukung oleh penulis buku-buku cinta yang ‘dikemas Islami’, M
Shodiq Mustika. Malah ia menentang habis-habisan pemahaman menikah tanpa
pacaran. “Sebagian orang Muslim menyangka bahwa kita bisa siap nikah tanpa
pacaran lebih dulu. Dan mengharamkan pacaran sebelum menikah karena menyangka
pacaran tidak lepas perkara haram, khususnya zina. Persangkaan mereka keliru,” katanya.
Menurut
Shodiq, makna asli ‘pacaran’ adalah ‘persiapan menikah’. “Mengingat bahwa nikah
merupakan langkah besar dalam kehidupan, kita pada umumnya takkan mungkin siap
nikah tanpa mempersiapkannya,” tambahnya lagi.
Dari dalil
yang diyakini, Shodiq berpendapat bahwa pelarangan pacaran sebelum menikah
adalah bid’ah sesat. Baginya pacaran tidak identik dengan mendekati zina. Bila tak
disertai syahwat birahi, maka memandang dan menyentuh pacar, tidak haram. Dan pacaran
tidak boleh dibatasi waktu, karena kedua pihak harus betul-betul siap ketika
memasuki bahtera pernikahan.
Namun,
entah Shodiq lupa atau betul-betul tidak tahu, hampir mustahil perempuan dan
lelaki yang tengah memendam bara cinta bisa terbebas dari ‘keinginan tertentu’
ketika berinteraksi, berdekatan, apalagi bersentuhan. Dengan SMS saja, logika
bisa menjadi tidak normal karena didominasi oleh perasaan yang sulit lepas dari
hawa nafsu. Siapa lagi yang menyetir ‘keinginan tertentu’ tersebut kalau bukan
setan, sahabat segala nafsu.
Mungkin
di awal hubungan siapa pun bisa memproklamirkan pacaran mereka ‘sangat Islami’.
Namun seiring berjalannya waktu, mungkinkah kedua pasangan tahan untuk tidak
menyentuh, terbebas dari syahwat, dan terhindar dari zina hati? Pintu zina
sangat terbuka dalam pacaran berbentuk apa pun.
Pendukung
Shodiq Mustika tentu banyak, terutama mereka yang tengah terbelit urusan cinta
tapi belum siap menikah. Padahal urusan dosa dan haram sangat bisa diukur oleh
hati kita sendiri berdasarkan definisi dosa dari Rasulullah saw, “(Dosa adalah)
apa yang mengganjal dalam hatimu, dan engkau takut kalau hal itu diketahui
orang lain,” (HR Muslim)
Ta’aruf, pacaran
setelah akad
Walau Shodiq
Mustika tidak percaya keutamaan pacaran setelah menikah, tak sedikit orang yang
sudah membuktikan ‘kebersihan’ dan keindahannya.
Ta’aruf
atau perkenalan sebelum menikah, yang jauh dari aktivitas pacaran tetap menjadi
pilihan banyak Muslimin untuk menjaga diri dari zina. Bahkan cara awal dalam
membina rumah tangga ini berhasil mereka tularkan ketika anak-anak mereka akan
menikah.
Ibu Ika,
Jakarta, contohnya. “Pernikahan kami, Alhamdulillah, sangat dimudahkan. Saya ta’aruf
25 tahun lalu dengan abinya anak-anak, tak lama kemudian menikah. Pacaran setelah
menikah dengan segala adaptasinya kami rasakan sangat indah dan menenangkan,”
komentar ibu enam anak ini. Sulungnya pun mengikuti jejak mereka, menikah tanpa
pacaran.
Proses ta’aruf
diawali dengan shalat istikharah setelah menerima biodata orang yang dituju,
dilanjutkan dengan pertemuan yang ditemani oleh orang terpercaya dari kedua
belah pihak untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya dari pihak lelaki dan
perempuan.
Setelah
itu masing-masing diminta mempertimbangkan dalam beberapa hari sambil terus
istikharah agar Allah menuntun pada pilihan yang tepat. Jika keduanya merasa
cocok barulah diatur pertemua agar sang lelaki bisa berkenalan langsung dengan
keluarga pihak perempuan, begitu juga sebaliknya.
Jika semua
pihak berkenan, maka tinggal menentukan waktu khitbah atau lamaran, akad nikah dan resepsi. Jadilah pendekatan
intensif antarpribadi betul dilakukan setelah keduanya halal dalam ikatan
pernikahan.
Proses ta’aruf
dibanding pacaran – yang dibungkus kata Islami – memang jauh lebih aman dari
godaan hawa nafsu. Namun tetap terbuka celah zina jika proses terlalu lama dan
tidak bisa menghindari zinanya hati, yang menurut Ustadz Ihsan Tanjung
mempunyai ciri : tumbuhnya rasa senang dan cinta; ada lamunan tanpa sadar karena
adanya simpati, harapan memiliki, dan seterusnya; kemudian lamunan itu semakin
kuat diiringi munculnya syahwat.
Lalu,
mana yang paling sesuai dengan prinsip hidup Anda, Sahabat?
Dikutip dari majalah Wanita
Ummi No. 5/XXIII/September 2011/1432 H page 46-47 Cakrawala
Comments