Mengejar Waktu
Karya Ria Dyan Rahayu
Saat bintang dan bulan masih menemani malam. Dalam mimpiku, aku, Kenza, seorang pelajar SMP yang suka bermain biola ayahnya dan sangat menyukai dunia seni rupa khususnya melukis, tak sengaja bertemu dengan seorang wanita cantik menyerupai parasku. Aku tidak tahu siapa namanya, tapi sekilas aku pernah melihatnya di tumpukan album yang masih tersimpan manis di gudang belakang rumah. Wanita itu memarahiku dan menyatakan bahwa aku anak yang tidak berguna sama sekali. Aku terkejut mendengarkannya, dan disaat aku sedang mencoba menanyakan alasannya, tiba-tiba mimpiku langsung rusak oleh suara petir yang menggetarkan jendela kamarku, lalu wanita itu menghilang seiring aku terbangun dari mimpiku. Ku lihat jam waker yang kuletakkan di meja samping kasur. Ku tajamkan penglihatanku dengan terpaksa, angka 02.15 terlihat dengan jelas . Derasnya hujan membawa suasana dingin masuk diantara sela pori-pori kulitku. Namun, ku lawan rasa dingin ini untuk mengambil air wudhu. Aku bersujud di sepertiga malam ini dan berdoa pada sang Maha Kuasa dengan angin malam yang menyelimuti helaiannya di setiap tetesan rahmat Allah. Dan berharap mimpiku beberapa menit yang lalu hanya bunga tidur yang mengantarkanku untuk bermunajah kepada Allah malam ini.
Setelah helaian angin dan tetesan air malam itu mengirimkan doaku. Seraya aku berkata “Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar.” Dengan doa ini, aku bersihkan pikiran dan hatiku. Semua alat indera telah kututup dengan doa sederhana ini. Lalu aku kembali ke kasur ku yang disertai bau khasnya.
Ketika garis pagi masih ragu-ragu untuk muncul di ujung pandangan kabut, disertai helaian sepoi angin yang dingin dan sejuk akibat efek hujan turun tadi malam. Seketika saja jam warker yang tak bersahabat telah merengek menandakan mentari siap menuntunku untuk meraih impian. Kabut pagi beserta pengikutnya menjadi saksi perjalananku menuju impian itu. Dengan sangat sukses jam warker berbunyi sangat nyaring. Aku berusaha mengerjapkan mataku beberapa kali. Membuka tirai jendela, membiarkan udara sejuk dan wangi masuk ke dalam kamar. Dengan mata yang masih penuh belek, aku berusaha menatap cahaya mentari yang masih bersembunyi di balik awan mendung yang menawan. Aku melompat dari ranjangku dengan keadaan rambut sebahuku yang berantakan. Dengan terpatah-patah aku menuju ke kamar kecil untuk mengusap wajahku dan merapikan rambutku lalu ku tutup dengan kerudung ala kadarnya. Kemudian terdengar suara yang tak asing dari balik pintu, aku membukanya dan terlihatlah sosok Ayah yang sedang membawa segelas susu dengan wajah yang sudah semakin berkeriput tetapi penuh senyum dan kasih sayang. Sosok yang baik dan selalu menemaniku sejak aku menginjakkan kaki di muka bumi ini. Sosok Ayah sekaligus Ibu untukku, ia bahkan memegang kendali dapur dan juga pandai memasak. Aku paling suka sayur bayam buatannya, apalagi ditambah dengan lele dan sambal terasinya, semua membuat aku semakin semangat makan. Aku senang sekali rasanya memiliki Ayah seperti malaikat dalam hidupku yang tanpa malu memiliki dan mengakui kekurangan ku pada kedua mataku. Kehadiran Ayah benar-benar membuat suasana hatiku nyaman.
“Kenza? Ini ayah bawakan susu coklat kesukaanmu… minumlah selagi masih hangat.” Pinta ayah kepadaku.
“Oke Ayah.” Balasku. “Thanks Dad. Love you.” seraya mencium pipinya dan mengambil alih segelas susu coklat hangat dari tangan kanannya.
“Urwell my darling. Cepatlah mandi dan sarapan.”
“Yes, Daddy.”
Setelah aku mandi, ku langkahkan kaki ku menuju meja kecil yang sangat sederhana berwarna coklat yang sudah tampak jelek. Ku ambil nasi dan sayur asam buatan ayah. Kami berdua duduk berhadapan. Tiba-tiba terbesit dalam pikiranku tentang wanita di mimpiku semalam.
“Yah, maafkan aku. Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?” tanyaku dengan antusias.
“Ya tentu boleh, Nak.” Jawabnya dengan ramah.
“Wajah ibu itu seperti apa sih, Yah?” tanyaku. “Apakah wanita di album yang berada di gudang belakang itu adalah sosok ibu?” simpuhku.
“Iya, Ken. Itu adalah sosok Ibu yang telah melahirkanmu.”
“Ibu? Lalu sekarang dimana Ibu, Yah? Kenapa Ibu ndak pernah menemaniku sampai usiaku beranjak remaja?”
Namun, tiba-tiba paras ayah berganti seketika. Dan dia seperti memikirkan sesuatu yang sama sekali tidak ku ketahui. Rasa penasaran ku yang terbesit seketika itu bercampur aduk mewarnai rasa kegelisahanku terhadap sosok ibu yang kudambakan sekian tahun lamanya.
Rudy POV
Ku termenung mendengar pertanyaan yang muncul dari mulutnya, ku tahu ini akan terjadi suatu hari nanti. Tapi bagaimana aku bisa menjelaskan pada anakku sendiri, aku takut hati lembutnya tersayat hanya karena penjelasanku.
*Flash back on
Ku tunggu kelahiran anak pertamaku di ruang operasi. Rasa tak sabar akan kehadirannya di dunia ini membuatku semakin tak karuan. Hatiku berdebar sangat kencang dengan seiringnya denting jam yang berbunyi. Hitungan detik demi detik ku lihat di sebuah jam dinding besar di hadapanku. Ketegangan pun dapat dirasakan di ruangan ini. Ketegangan di hatiku bergulir begitu deras. Aku memandangi wajah istri ku, rautnya dapat berbicara bahwa ia sangat bahagia. Melihat ia bahagia seakan-akan rasa tegang ku luntur. Tangannya memegang erat tangan ku. Keeratan itu merupakan energi dari seorang ibu. Nalurinya sangat erat di ruangan ini. Aku hanya bisa menjaga keeratan itu dengan doa tulus ku. Keinginannya memiliki seorang anak perempuan akan terkabulkan di ruangan ini, berkat anugerah yang Dia berikan. Detik demi detik di ruangan ini akan menjadi sejarah awal bagi ananda kami. Sang dokter dan suster menjadi tangan-tangan Allah, malaikat-malaikat pun juga berada di sini untuk menyaksikan makhluk mulia yang akan lahir di dunia ini.
Tak lama, akhirnya terdengar suara tangisan anak pertamaku yang memenuhi ruangan ini. Dengan wajah sumringah kusambut dia dengan seruan adzan di telinga kanan dan kirinya. Suster membawa anakku yang masih berselimut darah keluar dari ruang persalinan untuk di bersihkan.
Saat genap dua bulan usia anakku, aku merasakan ada sebuah keganjalan padanya. Aku baru menyadari ada keanehan pada matanya, letak pupil mata sebelah kiri yang seharusnya berada tepat ditengah justru sedikit berbeda dengan mata kanannya yang normal.
Kuceritakan keganjalan ini pada istriku, Liana Kintan. Ia tampak terkejut dan langsung berlari melihat anak kami. Seketika tubuhnya lemas dan raut wajahnya berubah menjadi kesal, lantas ia pergi ke kamar dengan membanting pintu. Aku terkejut melihat sikapnya, lantas aku menghampirinya. Ku lihat dia sedang mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Heran, rasa itu berkecamuk dalam pikiranku. Apa yang dia lakukan, aku sungguh tak menduganya sama sekali. Aku langsung menarik tangannya.
“Apa yang kau lakukan? Apa kau mau meninggalkannya sendirian hanya karena satu kekurangan yang ada pada dirinya?”
“Ya, apa peduliku terhadap dirinya. Dia sudah tak seperti harapanku lagi. Lebih baik, kutinggalkan dia saja. Sekarang aku minta cerai darimu.”
‘cerai’ satu kata yang tidak kuinginkan dari hubungan kami yang telah terangkai selama genap dua tahun. Sesak rasanya dada ini mendengar kata itu darinya.
“Apa yang kau bicarakan. Apa kau sudah gila?”
“Iya, aku memang sudah gila. Pokoknya aku mau cerai dari kamu.”
Kenangan akan dirinya datang kembali. Masih kuingat jelas bagimana saat dia memilih keputusan untuk meninggalkan kami berdua. Saat itu, aku hanya mampu mengiyakan kemauannya.
Kenza POV
“Yah! Ayah! Ibu masih hidup kan, Yah?” teriakku hingga ayah terjingkat. Kuulangi pertanyaanku dengan lembut seraya mengusap punggung ayah.
“Ibumu masih hidup, Nak. Tapi maafkan Ayah, Kenza. Ayah tak bisa menjelaskannya padamu. Tapi Ayah janji, Ayah akan tunjukkan sosok Ibu untukmu suatu hari nanti. Tapi Ayah ada syarat untukmu kalau kamu ingin bertemu dengan Ibu.” jelas ayah yang tak ku tahu arahnya.
“Baiklah, Yah. Kenza akan lakukan apa saja, agar Kenza bertemu dengan Ibu.” pintaku pada ayah dengan sungguh-sungguh.
“Maafkan Ayah, Kenza.”
“Ayah, Ayah jangan khawatir. Kenza akan bersungguh-sungguh melakukan keinginan Ayah. Kenza harus melakukan apa, Ayah?”
“Baiklah, Nak. Ayah percaya kamu pasti bisa melakukannya. Ayah ingin kamu menjadi penyanyi. Tunjukkan suaramu pada dunia. Oleh karena itu, Ayah akan memberikan jam tambahan les privat menyanyi bersama Bibi Lima setelah pulang sekolah.” Jelas Ayah kepadaku.
“Apa, Yah? ! Menyanyi? Tapi, Yah…” seketika itu aku terkejut dengan keinginan Ayah. Padahal aku lebih menyukai dunia lukis. Ku temukan duniaku ini sejak sebulan yang lalu. Setiap goresan yang ku oles di atas kanvas putih telah merasuk jiwa dan qolbuku setiap detiknya, manamungkin aku melepaskan duniaku begitu saja, aku juga ingin menjadi pelukis terkenal. Akhirnya kuputuskan, kegembiraanku ini hanya ku nikmati sendiri tanpa sepengetahuan ayah. Tetapi, ini juga salah ku karna aku tidak memberitahu Ayah tentang dunia ku, dalam hal ini Ayah tidak bersalah. Manamungkin aku membantah keinginan Ayah tersebut, di sisi lain pun gejolak rasa yang terus membakar mengajakku untuk menyatakan iya, aku sanggup menerimanya dan aku akan bertemu dengan ibu.
“Baiklah, Yah. Kenza berjanji untuk menempatinya.” Kuurungkan niatku untuk menyatakan yang sebenarnya. “Yasudah, Yah. Kenza berangkat ke sekolah dulu ya. Love you, Dad.” Salamku seraya mencium punggung tangan dan kedua pipinya.
“Assallamualaikum..” sahutku seraya berlari meninggalkan halaman rumah.
Suatu hari, sepulang dari sekolah, aku pergi ke tempat dimana aku sering meluapkan perasaan kesal dan lain sebagainya. Tempat itu selalu membuatku merasa nyaman. Ku keluarkan perangkat kesukaanku dan mulai melukiskan apa yang sedang kulihat saat itu. Hembusan angin yang sangat berdesir, air yang mengalir sejuk di depan ku serta suasana sore menjelang malam yang sangat aku kagumi diantara rahmat Allah SWT yang diberikan kepada ku.
Tiba-tiba suara menggelegar sangat keras mengejutkan ku dari arah belakang. Ku putar badanku sedikit menyerong dan ku lihat sosok pria tua rentah dengan baju yang sangat rapi dan bertopi seperti tampilan seorang seniman handal. Hanya satu pandangan yang ku temui dari sosok pria itu, dia membawa sebuah kanvas yang tampak sudah tidak layak untuk dipakai melukis, ia bahkan membawa tas besar, terlihat beberapa ujung kuas muncul di antara resleting tas besarnya.
“Hai, anak muda!” sapanya seraya memukul pundakku. Pandanganku terhadapnya langsung menghilang.
“Ahhh… maafkan saya pak.”
“Bolehkah aku duduk disampingmu? Karna sepertinya pemandangan disini sangat bagus untuk ku lukiskan di kanvas kesayanganku.”
“Oh, tentu saja boleh, Pak. Dengan senang hati.” Pria tua itu pun duduk di sampingku.
“Sepertinya kamu bakat melukis juga ya.”
“Ahh, tidak juga pak, saya hanya sering melakukannya di sini.”
“Tapi aku melihat, kau sangat menyukai lukisan dari hatimu sendiri.”
“Iya, Pak. Bapak memang benar. Tapi, permisi, Pak. Kalau boleh saya tau, nama Bapak siapa?”
“Panggil saja saya, Bang Maron.”
“Bang Maron… saya Kenza Erlangga, panggil Ken saja ya, Bang.”
Pertemuan ini langsung membuat ku menyukai pribadinya yang humor dan humble. Terkadang aku meliriknya diam-diam, ku lihat olesan cat yang dia pakai sangat menawan. Tak butuh waktu lama, lukisan yang dia mulai 1 jam lalu kini menghasilkan sebuah karya yang sungguh indah. Ketika aku sedang asik dengan duniaku. Tiba-tiba Bang Maron menyatakan sesuatu.
“Sejak pertama kali aku lihat arah tanganmu terhadap lukisanmu. Saya langsung suka dengan aliran lukisan kamu. Kalau kamu mau, besok sore datanglah ke sanggar lukisku di depan Taman Permai. Jangan lewatkan tawaran ini ya, Ken.” Simpulnya seraya meninggalkanku begitu saja.
Keesokan harinya, sepulang dari sekolah. Langsung ku langkahkan kakiku menuju sanggar Bang Maron tanpa sepengetahuan Ayah. Tak susah ku mencari letak sanggar lukisnya. Ku lihat sekeliling sudut demi sudut, tanda tak percaya ketika melihat sanggar Bang Maron. Megah dan indah menggambarkan kondisi sanggar miliknya. Sempat ku tak percaya melihat ia seperti orang miskin, kemarin. Ku langkahkan kaki ku kembali untuk masuk ke halaman utamanya. Sungguh menakjubkan ketika ku lihat ada sebuah ruangan besar di sudut halaman, ku tengok di sela jendela, tak kusangka ada beribu lukisan yang tersimpan rapi di sudutnya. Tiba-tiba ada suara yang menyambutku yang tak lain adalah Bang Maron ketika aku hendak masuk ke halaman sanggar. Ia mengenalkan banyak hal tentang seni lukis.
Ketika emosiku tidak stabil, aku selalu meluapkannya dengan pergi ke sanggar Bang Maron. Bahkan, Bang Maron mengajariku saat aku akan mengikuti lomba melukis se Kapubaten, membuatku semakin tahu arti seni dari sudut dalamnya. Kini, tempat itu menjadi salah satu tongkronganku bersama kuas dan cat. Ku lakukan ini tiap minggu 2 kali sepulang sekolah. Terkadang rasa was-was menghantuiku ketika aku berada di sanggar Bang Maron.
Tak terasa dua tahun aku menjalani semuanya, semua keinginan Ayah dan kebiasaanku yang selalu kulakukan diam-diam dibelakang Ayah. Tinggal satu tahun lagi, aku akan lulus dan tak sabar menjadi pelajar SMA. Rasa cemas menghadapi Ujian Nasional selalu menyelimuti hatiku. Serius, satu kata yang terus mewakili di setiap derap langkahku untuk bersekolah. Sekolah memberi pengumuman bahwa UJian Nasional akan dilaksanakan satu bulan lagi. Ku atur jadwal belajar untuk mengerjakan latihan soal Ujian Nasional agar efektif. Segala materi dan cara penyelesaian kucoba untuk memahaminya dan mengingatnya. Tak ada kata ‘aku lelah’ yang selalu terpatri di pikiranku. Tak lupa dukungan dari Ayah yang membuatku semakin semangat menghadapi Ujian Nasional. Tak terasa sudah 2 minggu berlalu, kukuatkan fisik dan psikis ku untuk minggu depan. Kuserahkan usahaku dengan berserah diri kepada Allah, ku langkahkan kaki untuk bermunajah kepadaNya.
“Ya Allah, tidak ada Tuhan selain Engkau. Hanya kepadamu, hamba memohon dan meminta. Lancarkanlah langkah hamba dalam menuju jalanMu. Serta lancarkanlah hamba dalam mengerjakan soal ujian nasional besok lusa. Manabila waktu itu telah datang, kuatkanlah hati hamba, damaikanlah mata, telinga dan mulut hamba, jauhkanlah pikiran hamba dari hal buruk, ketika hamba harus melihat mereka saat itu. Dengan izinMu ya Allah, ampunilah mereka yang sudah tidak percaya lagi padaMu, hingga mereka harus memilih langkah hidup dengan ketidakbenaran, dan ketidakjujuran. Ya Allah, Ya Rahman Ya Rahim, Engkau Maha Mengetahui segalanya, berikan petunjuk kepada hamba, apa arti dari mimpi hamba malam ini. Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah waqina 'adzabannar.”
Satu minggu kemudian.
Dengan derap langkahku yang menderu, aku melintasi jalan koridor sekolahku. Hati dan pikiranku saling berdialog. Selembar kertas kecil berwarna putih telah berada dalam genggaman mereka. Raut wajah mereka menyiratkan sebuah kebahagiaan dan ketenangan. Manipulasi raut mereka tidak dapat aku pecahkan. Aku mulai menstabilkan emosiku dengan doa. Hanya karena doa yang dapat menyelamatkanku dari perbudakan setan. Ambisiusku kini mengalahkan rasa khawatirku terhadap mereka. Karena dengan kekhawatiran dapat meruntuhkanku bersama sugestiku. Ketika ku masuk ruangan, banyak motif strategi yang dapat aku lihat. Bunyi nyaring tersebut pertanda persaingan akan dimulai. Tentu saja, tradisi ini selalu ada setiap tahunnya. Satu detik menjadi sejarah. Sejarah itu yang akan menggiring insan bangsa menjadi pemuda yang tak memiliki kualitas. Hanya satu banding seribu pemuda yang benar-benar berkualitas. Jika tradisi ini masih dilestarikan, bagaimana nasib bangsa Indonesia dalam dunia pendidikan. Dalam kompetisi pun juga menggunakan tradisi itu. Hanya sinar mata kebenaran yang dapat melihat itu semua. Keadilan perlu ditegakkan kembali.
Detik berjalan dengan lancar, begitu juga dengan strategi mereka. Hal yang tersirat mengiringinya. Aku hanya ingin dan bisa fokus dengan lembaran putih yang sedang kubaca. Aku memulainya dengan mengucapkan “Bismillah.” serta doa pendukung lainnya. Saraf otakku mulai beroperasi dengan sempurna. Strategiku adalah doa, hanya itu. Detik terhenti pada angka 00. Aku mengakhiri pekerjaanku dengan mengucapkan “Alhamdulillah.”, dengan penuh keyakinanku, hasilnya hanya aku serahkan kepada Allah SWT. Jam istirahat pun berlangsung. Mereka pada berhamburan keluar ruangan. Hanya ada beberapa dari mereka yang tetap memilih untuk tinggal. Aku berbincang dengan catatanku. Tidak lama, bel berbunyi dan persaingan dimulai kembali. Strategi mereka masih sama. Aku pun juga begitu.
Seminggu setelah pelaksanaan UN. Seakan-akan hari itu terulang pada hari ini. Entah apa yang aku rasakan hanya sekedar kekhawatiran saja. Kali ini aku mulai kritis. Setiap aspek harus aku pertimbangkan. Karena, aku berkesempatan untuk melihat beberapa Sekolah Menengah Atas, diantaranya beberapa pilihan, hatiku ada yang berkata tidak dan iya. Prokontra pun terjadi antara hati dan pikiranku. Ada sekolah yang tidak strategis, panas dan gerah, hatiku langsung berkata tidak. Ada juga sekolah yang strategis dan nyaman, namun hati berkata tidak. Tujuan terakhir, sekolah ini strategis, sejuk, hijau, dan nyaman, hati saya langsung berkata iya. Sekolah itu adalah SMA Negeri 1 Krian.
Ketika aku sudah tahu akan melanjutkan tingkat sekolah dimana, aku mulai mengatur strategi kembali. Hanya satu jalan yang benar-benar dapat membantuku, tentunya doa seorang Bapak. Aku juga bernadzar. Berikhtiar dan bertawakal. Pengumuman hasil UN pun akhirnya keluar. Hati berdetak sangat cepat. Keringat dingin mengucur kedua tanganku. Badanku terasa dingin dan panas yang tak beraturan. Angka 31,55. Angka itu menjadi hasil dari semua usaha dan doaku. Tidak lupa dukungan yang diberikan oleh bapakku, dan teman-temanku dengan impiannya. Mempunyai ambisi yang sama, tidak membuat pertemanan kita menjadi runtuh. Angka itu juga menyimpan sejarah dalam kepingan dunia kehidupanku. Aku memang bahagia, namun bahagiaku tidak sampai di sini. Masih ada perjuangan lagi.
Aku mengikuti beberapa tes untuk masuk di sekolah yang aku pilih. Getar yang sama ketika aku mengerjakan soal UN. Tentu saja, dalam persaingan ini sangat berbeda dengan kondisi waktu itu. Strategi musuhku sama denganku. Hal yang paling diunggulkan dari persaingan ini adalah sebuah kejujuran. Keadilan di sini benar-benar sangat ditegakkan. Mungkin, hanya tujuh banding sepuluh yang benar-benar seratus persen memenangkan persaingan ini. Hasil tes muncul di website sekolah. Aku mulai membuka website-nya dengan gadget yang sedang kupegang. Jantungku mulai berdetak sangat kencang. Sesungguhnya penantian ini tidak akan berujung. Namaku sudah kulihat dalam daftar itu. Rasa bahagia telah menghampiri hatiku. Dalam ketakwaanku, aku tidak mau hatiku menjadi padam dengan mengikuti bisikan setan. Karena tahta dan kesombongan tidak akan pernah akur. Harta bukanlah dalam diriku. Tahta bukan dalam daya pikirku. Kesombongan bukan dalam sikapku. Ikhtiarku menjadikanku bersikap lebih dewasa. Dengan hasil tes ini aku sangat bersyukur atas segala hal. Pernah terbesit dalam pikiranku, aku akan gagal. Namun, Allah mempunyai kehendak berbeda untuk hidupku. Khawatir akan kegagalan itu hanyalah sebuah momok yang terus membayangi untuk selalu ku lawan setiap detiknya.
Keesokan harinya, Ayah mengantarkanku untuk mencari pakaian seragam sekolah baru, ia juga mengajariku banyak hal tentang menemukan jati diriku yang sebenarnya, menjadi remaja yang akan mengalami problematika dalam hidup khususnya cinta. Bagaimana rasanya saat menjadi dewasa dengan mengambil resiko dari keputusan yang diambil. Semua ia jelaskan padaku, seperti tugas keduanya sebagai pengganti Ibu di hidupku. Semuanya terasa menyenangkan dan tak terasa waktu sudah menjelang malam. Akhirnya aku dan Ayah memutuskan untuk kembali pulang.
Beberapa hari kemudian..
Hari ini aku sudah mulai bersekolah, ayah memandangku penuh haru. Ia bahagia melihatku berpakaian baju seragam putih abu-abu. Ia memberikan pesan padaku untuk belajar sunguh-sungguh. Ayah mengantarkanku hingga gerbang sekolah. Untuk membuatku tidak seperti anak manja, ayah membiarkanku berjuang sendiri setelah memasuki gerbang sekolah. Disana kulihat banyak wajah asing yang aku temui di sekolah ini. Asing. Rasa ini yang selalu menyelimutiku dalam berkomunikasi. Secepat mungkin aku berusaha untuk bisa beradaptasi. Satu langkahku berdebar-debar.
Aku menarik nafas panjang, mencoba membaca beberapa peraturan sekolah yang sudah ayah dapatkan ketika kami mendaftar. Sekolah ini terdiri dari empat gedung yang melingkari pohon beringin yang sangat besar, dua gedung di bagian belakang sekolah dan dua lapangan di halaman utama masuk sekolah. Aku berkeliling mencari kelasku yang sudah ditentukan yaitu kelas X Ipa 1. Kelas itu terletak di lantai dasar dekat dengan Koperasi Siswa.
Saat aku hendak menginjak kelas, sudah ada beberapa anak yang sedang sibuk saling mengenal. Aku yakin, di sekolah ini tidak hanya aku seorang yang berasal dari sekolah yang sama. Sayangnya aku tidak menemukan satu orang pun yang dapat aku kenal di kelas ini. Namun, kulihat sosok perempuan yang berjilbab duduk di pojok depan ruangan. Aku duduk di samping kursinya yang masih kosong dan kuletakkan tasku. Kemudian, ku sapa dia dan berkenalan dengannya. Ia bernama Alisa. Dan tak terasa waktu kebersamaan kami telah berjalan begitu lama. Aku mulai merasa kebaikkannya yang tulus dan lembut. Pertemuan ini menjadikan hubungan kami semakin dekat satu sama lain. Bukan kata sahabat yang menggambarkan kedekatan hubungan kami, cukup dengan dua kata yang mewakili hubungan indah ini. ‘teman dekat’, ia sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri. Kami selalu menyayangi satu sama lain. Bahkan kebersamaan kami selalu menjadi sudut pandang banyak orang disekeliling kita. Berbagai pengalaman antara aku dengannya selalu kami ceritakan. Meskipun, banyak kesamaan diantara kita, kita memiliki keinginan dan harapan yang berbeda. Aku yang ingin menjadi pelukis terkenal sedangkan dia ingin menjadi manager dari perusahaan yang ia bangun. Tapi harapan dan keinginanku itu masih sama, menyembunyikannya dari tatapan Ayah. Aku selalu berusaha untuk terus menutupinya, karena aku tahu Ayah menginginkan ku untuk menjadi penyanyi terkenal.
Suatu hari setelah aku pulang sekolah, aku berniat untuk memilah-milah buku SMP dan SMA. Ketika aku ingin menyimpan buku-buku SMP di gudang belakang, aku tersandung buku-buku yang berserakan di lantai dan tak sengaja aku melihat buku diary ‘my dream and my hope for my sweet’s future’. Dengan rasa penasaran kusibakkan buku-buku yang berada di atas. Kuhempaskan semua debu yang menempel di sana. Aku terpengarah ke arah foto yang menempel di bagian cover buku itu. Ada bayi berusia satu setengah tahun yang menyerupai pola wajahku. Rasa tak percaya pun seketika melemaskanku ketika aku melihat sebuah namaku yang terlingkar dengan goresan tinta merah berada tepat di bawah foto itu. Aku terkejut ketika aku menyadari bahwa foto itu sangat berbeda dengan keadaanku sekarang, kedua pupil matanya normal, sama sekali tidak ada keanehan di sana. Terbesit sebuah pertanyaan yang seketika menggeluti pikiranku. ‘Siapa sebenarnya anak ini? Kenapa tertera namaku di sana? Apa hubungannya denganku?’
Pelan-pelan kubuka buku itu, ada sebuah foto Ayah dan Ibu yang usang. Kulebarkan senyumku ketika melihat kedua orang tuaku sedang berpelukan dan tertawa di foto itu. Kuambil foto itu lalu kusimpan di dalam sakuku. Tak sengaja aku melihat dua nama dibalik foto itu, aku sangat mengenal satu nama diantara kedua nama itu. Rudy Erlangga, itu adalah nama ayahku. Dan aku tahu siapa nama yang tertera disebelah nama Ayah, Liana Kintan. Itu adalah nama Ibuku. Lembar demi lembar aku lewati, ada deretan peristiwa dan masalah yang tertulis rapi dengan tinta berwarna-warni di atas garis-garis hitam yang tampak memudar. Sebuah rasa tak bersalah menyelimuti hatiku, gemetar tangan dan bibirku, tetesan air mata yang tak terbendung lagi ketika aku melihat sebuah foto usang yang penuh dengan coretan. Itu adalah diriku, yang mempunyai mata tak normal layaknya teman-temanku. Dan ada beberapa kalimat yang sangat tak kuduga.
Dear diary,
Betapa malunya diriku, seorang penyanyi terkenal yang mempunyai anak cacat sepertinya. Padahal aku menaruh harapan besar terhadapnya ketika dia dewasa nanti. Menjadikannya seorang penyanyi sepertiku, namun harus melebihi diriku. Rudy memanggilku ketika ia menyadari keanehan dari anakku. Aku melihatnya dengan berat hati dan rasa tak percaya. Aku membantah pernyataan suamiku terhadap anakku. Itu tak mungkin terjadi pada anakku. Apakah ini salahku yang tidak menjaganya dengan baik. STOP! Aku sudah tidak menginginkan anak itu, ia sudah memutuskan harapanku, dan aku tak mau melihatnya di setiap hariku. Terpaksa aku minta cerai dari Rudy.
Aku terkejut tanpa bisa berkata-kata ketika aku mengetahui ibuku lah yang menginginkanku menjadi penyanyi terkenal, bukan ayah. Itu adalah sebuah cambikkan terbesar dalam hidupku. Rasa kegelisahan dan kekecewaan beradu gesit di otakku, merangsang aku untuk berbuat keji dan ingin melukai diriku sendiri. Namun, ku usap air mataku perlahan, aku menyadari kenapa Ayah tak bisa menjelaskan tentang Ibu padaku saat itu. Kini, aku mengerti semuanya. Ibu meninggalkanku karena harapannya yang sangat besar terhadap diriku yang akan mengikuti jejaknya menjadi penyanyi terkenal, bahkan ingin lebih dari sekedar penyanyi terkenal biasa.
***
Tak terasa sebulan sudah aku menjadi pelajar SMA di Smanika, SMAN 1 Krian. Dan kegiatan rutinku tetap kujalani dengan sekuat tenagaku. Setiap hari Rabu dan Kamis sepulang dari sekolah, aku pergi ke sanggar bang Maron. Dan setiap hari Senin, Selasa dan Sabtu aku les nyanyi di bibi Lima.
Namun, suatu hari bibi Lima meminta ku untuk mengikuti audisi ‘The Voice Kids of Indonesia’ yang akan dilaksanakan 2 minggu lagi di Surabaya. Dengan senang hati, tawaran itu aku terima. Aku akan membuktikan kepada ibu kalau aku akan mewujudkan impiannya dengan kekuranganku di depan banyak orang bahkan di seluruh dunia ini. Tiba-tiba saja, ada orang mengetuk pintu rumah disaat aku sedang bermain biola. Kubuka pintu rumahku, ternyata ada postman yang mengantarkan surat.
“Permisi, ini dengan Kenza Erlangga.”
“Oh, iya, Pak. Betul, saya sendiri.”
“Ini mbak. Dan tolong tandatangan di sini ya, mbak.” Sepucuk surat dari tangannya, ia berikan kepadaku.
Kuterima surat itu dan membukanya, ternyata surat ini dari Bang Maron. Kubaca setiap bait yang tertuang di dalamnya. Ku tersentak keras melihat sebuah tulisan ‘Lomba Lukis tingkat SMA/SMK/MA se-Jawa Timur’ yang diadakan oleh Dinas Pendidikan dan dilaksanakan sama persis dengan tanggal Audisi ‘The Voice Kids Indonesia’, tapi waktu pelaksanaanya yang berbeda. “Bang Maron, bagaimana bisa aku mengatur semua ini? Apa aku akan ikut lomba ini?” tanyaku ragu. Rasa bimbangku muncul, tapi naluriku ingin aku memilih kedua-duanya. Akhirnya, kuputuskan untuk andil dalam lomba lukis ini. Hal ini sudah kunantikan sejak lama. Lomba se- Jawa Timur.
Aku terus berlatih dari hari ke hari. Ku lawan rasa capek di pundakku setiap aku pulang larut malam hanya karena latihan di rumah bibi Lima. Aku juga memperjuangkan harapanku. Tiap malam, diam-diam aku melukis.
Rudy POV
Malam dingin ini membuatku bangkit dari tempat tidurku. Teh panas, mungkin akan menghangatkan tubuhku. Ku berjalan menuju dapur untuk membuat minuman hangat untukku. Setelah rasa hangat itu membuatku berkeringat, aku kembali ke kamar tidurku. Tapi, hanya beberapa langkahku, aku tak sengaja melihat pintu kamar Kenza terbuka dan lampu kamarnya masih menyala terang. Tak biasanya dia tidur dengan kondisi seperti itu, karena dia tidak akan bisa tidur jika lampu kamarnya tetap menyala. Perlahan, aku mendekatinya. Terkejut hati ini, melihatnya masih bangun dan mengerjakan suatu hal yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Kulihat banyak lukisan yang mengelilinginya. Berbagai warna cat berhamburan di lantai kamarnya. ‘Apakah dia memiliki bakat melukis? Kenapa dia menyembunyikannya dariku?’. Ku biarkan dia dalam dunianya malam ini.
Keesokan harinya ketika dia bersekolah, aku mencoba mencari tahu apa yang dia sembunyikan selama ini dariku. Pertanyaan tadi malam harus aku ketahui, apapun itu. Akhirnya kubuka pintu kamarnya, kucoba membuka almarinya, aku terkejut melihat sebuah piala berdiri tegak di dalamnya. tertulis ‘Juara 1 Lomba Lukis tingkat SMP se-Kabupaten’. Dan tak sengaja, ada selembar kertas jatuh ketika piala itu kuangkat. Selembar kerta bertuliskan “Lomba Lukis tingkat SMA/SMK/MA se-Jawa Timur. Kulihat tanggal pelaksanaanya serentak dengan audisi nyanyinya. Tapi aku yakin, dia tidak akan melewati lomba ini, karena aku tahu harapannya yang sebenarnya setelah ku tahu semua ini. Sebuah piala dan surat itu menyadarkanku akan artinya keinginan dan harapan yang berbeda tipis. Kenza memiliki bakat melukis dan aku tak mengetahuinya sama sekali. Dia sangat pandai menyembunyikan ini semua dariku. Aku tak bisa memarahinya hanya karena itu, ini juga salahku. Aku seorang ayah yang bodoh untuknya. Kuputuskan untuk tak memberitahunya tentang ini.
Hari ini, aku harus memenuhi keinginannya. Kuambil telepon genggamku di atas laci dekat kasur. Ku tekan beberapa digit nomor mantan istriku, ibu Kenza. Terdengar suara nada tunggu di dekat telingaku.
“Assalamuallaikum, Liana. Aku minta padamu, datanglah ke audisi The Voice Kids Indonesia di Surabaya minggu depan. Kumohon datanglah ke sana dan lihatlah anakmu yang kau tinggalkan begitu saja hanya karna kekurangannya. Minggu depan, dia akan tampil di sana dan bernyanyi di hadapan banyak orang dengan penampilannya yang sangat sederhana.”
“What? It’s impossible for her . You’r crazy. Dia itu juling, dan aku tak akan pernah melihatnya lagi. You know? Aku tak akan datang hanya untuk melihatnya bernyanyi. Dia pasti kalah. Aku yakin itu.” dan langsung mematikan nada sambungnya. Aku hanya bisa berserah diri padaNya atas sikapnya yang masih sama. Ku kuatkan qolbu ini untuk mendoakan Kenza agar dia selalu dalam anugerahNya.
Kenza POV
Satu minggu kemudian.
“Besok hari keberangkatanmu, apa kamu sudah siap?” tanya Alisa yang sedang membantuku membuat kue tar dan beberapa masakan lainnya untuk perayaan kemenangannya di rumah bibi Lima.
“Ya lah, mau nggak mau aku harus siap. Hasil akhirnya kuserahkan pada Allah.”
“Ku doakan kamu masuk sampai ke babak final.”
“Emmmm… Makasih ya Lis. You make me smile this morning.” Riangku seraya mencium dahinya.
Kutinggalkan kegiatan dapur dan kuserahkan semuanya ke Alisa agar dia yang mengambil alih kegiatanku di dapur. Ku langkahkan kaki dengan berat hati menuju kamar untuk menyiapkan beberapa persiapan kepergianku ke audisi 'The Voice Kids Indonesia'.
“Kenza, teruslah bersemangat. Bibi yakin para juri akan terpukau mendengar suaramu..” Sahut Bibi Lima dari belakang punggungku.
“Ya, Bi. Makasih ya, Bi. Bibi sudah sabar mengajariku cara bernyanyi dari berbagai oktaf. Bibi juga selalu menyemangatiku. Atas bimbinganmu, aku bisa mewujudkan keinginan Ayah. Aku tidak akan mengecewakanmu, Bi.”
“Itu semua kulakukan juga karena dirimu. Sejak awal aku melihatmu, aku tahu kamu pasti memiliki bakat menyanyi dari dalam tubuhmu sendiri. Meskipun, kamu memiliki kekurangan, tapi itu justru menjadi kesuksesanmu. Serahkan semuanya pada Allah, Kenza. Bibi tidak akan pernah kecewa sampai kapanpun, Bibi selalu bangga padamu.”
“Uhhhh…. Bibiku yang baik hati. Terimakasih ya, Bi. Bibi selalu membuatku tersipu malu.”
***
Di audisi ‘The Voice Kids Indonesia’
“Mari kita saksikan peserta selanjutnya dengan nomor urut 101.” Pembawa acara telah memanggilku, itu tandanya aku harus bergegas naik ke atas panggung. Ketengangan pun terjadi. Tangan seakan gemetar kedinginan, hati berdegup begitu kencang. Di atas panggung. Aku menstabilkan hati dan pikiranku. Aku pun memperkenalkan diri.
Nama saya Kenza Erlangga, saya berumur 17 tahun. Saya akan menyanyikan lagu ciptaan Yusuf Islam, yang berjudul Your Mother. Lagu ini saya dedikasikan untuk kedua orangtua saya, khususnya pada Ibu saya dan untuk Bibi Lima dan teman-teman setia saya. Saya membawakan lagu ini karena saya sangat merindukan kehadiran sosok Ibu di dalam hidup saya.
Juri : Ya, baiklah, silahkan kamu tunjukkan penampilan terbaikmu ya sayang.
Who should I give my love to?
My respect and my honor to
Who should I pay good mint to?
After Allah and Rasulullah
Comes your mother
Who next? Your Mother
And then your father
Cause who used to hold you
And clean you and clothes you
Who used to feed you?
And always be with you
When you were sick
Stay up all night
Holding you tight
That’s right no other
My mother
Who should I take good care of
….
Ribuan penonton dan tiga juri memberi tepuk tangan meriah. Raut wajah mereka tersirat arti bahwa lagu yang kunyanyikan telah berhasil menembus sukma. Aku terharu, suasana yang tadinya tegang telah berubah menjadi suasana haru. Seakan-akan sebuah renungan telah sengaja dibuat. Tanpa aku pungkiri, air mata ku mengucur di pipiku. Entah, air mata ini menandakan arti sedih atau bahagia. Para juri pun memberi apresiasi.
“Kenza? Ya, Kenza, penampilan kamu di atas panggung sudah sangat bagus. Kamu sudah berhasil memberikan penampilan yang terbaik hari ini.” Juri 1 memberikan apresiasi dengan sangat antusias.
“Suara kamu, saya suka. Karena suara kamu itu berkarakter, dan sudah seperti diva penyanyi. Dan, yah saya akui penampilan kamu di atas panggung sudah sangat bagus. Walaupun ada sedikit kesalahan, tapi hal itu kamu dapat mengatasinya.” Tidak kalah antusiasnya dengan juri 1, juri 2 pun juga memberikan apresiasinya.
"Selain suara kamu yang berkarakter, gaun yang kamu kenakan juga sangat cocok untuk lagu ini. Di atas panggung ini, kamu juga pintar dalam membuat ekspresi setiap bait lagunya. I love it. Terus kembangin kemampuan ini."
Liana POV
Rasa bersalahku 17 tahun yang lalu selalu menyiksaku setiap malam. Beribu mimpi buruk selalu kualami setiap aku tidur. Tiba-tiba suatu hari, aku terkejut melihat nama Rudy di layar telepon genggamku yang sudah sekian tahun lamanya aku dengannya tak saling memberi kabar. Kuangkat teleponku, dan kutekan tombol hijau. Kudengar suara yang lama tak kudengar, aku terkejut dia memintaku untuk datang ke audisi anakku, dia akan tampil di hadapan banyak orang dengan kekurangannya. Tersentak hati ini, qolbuku ingin menyatakan iya aku akan melihatnya, tapi entah kenapa mulut ini masih enggan mengungkapkan isi hatiku. Kukatakan padanya jika aku tetap tak ingin melihatnya. Tapi, kuputuskan aku akan datang di audisinya.
Saat di audisi.
Aku merinding ketika mendengar suaranya, rasa yang kuidam-idamkan bertahun-tahun, kini aku mendengarnya pertama kali di antara beribu penonton yang ada di sini. Harapanku sudah terwujudkan. Rasa bersalah meninggalkannya membuatku ingin memeluknya.
Ketika dia kembali ke belakang panggung, kuberlari cepat untuk menemuinya. Kupeluk dia dari belakang. Betapa terkejutnya dia ketika melihatku. Senyum yang melebar di wajahnya menandakan betapa gembiranya dia ketika bertemu denganku. Dia mengatakan, “Ibu, maafkan aku, Bu. Aku bukan anak yang berguna untukmu. Aku cacat, bu.” Tetesan air mataku pun terjatuh seketika. Aku lah yang bersalah telah meninggalkannya hingga dia beranjak dewasa. Akulah, ibu yang tak berguna untuknya.
“Kenza, Ibulah yang harus minta maaf padamu. Ibu sudah meninggalkanmu hanya karna satu kekuranganmu. Kamu berhasil sayang, kamu sudah mewujudkan harapan Ibu.”
Kenza POV
Betapa senangnya hatiku, aku bertemu dengan Ibu. Kupeluk erat dirinya lagi. Aku tak mau melepaskannya begitu saja. Tapi, aku terpaksa harus meninggalkannya.
“Ibu, maafkan Kenza. Kenza harus pergi sekarang.”
“Baiklah, tak apa sayang. Ibu akan bermain kerumahmu besok.”
Aku bangga sekarang Ibu sudah menerimaku sebagai anaknya lagi. Ku alihkan pandanganku, aku harus bertemu Ayah segera.
“Apa kamu mau ijin keluar, sayang?”
“Iya, Yah. Kenza punya janji. Kenza harus pergi dulu.’
“Ya sudah, kesanalah.”
“Oke, Ayah. Assalamuallaikum.”
Belum sempat ayah menjawab salamku, aku sudah berlari meninggalkan tempat lomba itu. aku terburu-buru karena dikejar waktu untuk mengikuti lomba lukis. Untungnya saja, tempat itu tak terlalu jauh dari sini. Ku ambil sepedaku di dalam jok mobil. Aku terus mengayuh sepedaku tanpa memperdulikan orang yang berlalu lalang. Aku sempat hampir terjatuh, kerena saat aku menyebrang ada pengendara motor yang melaju kencang dari lawan arah. Untung saja aku bisa mengerim sepeda dan orang tersebut dengan kencangnya melewatiku serta meneriaki aku. Aku tak memperdulikan teriakan orang tersebut, aku langsung mengayuh sepedaku lagi. Aku melihat jarum jam tanganku menandakan kurang 5 menit acara akan dimulai, jika aku terlambat hanya dengan 1 detik, aku akan disfikualifikasi. Tapi aku tak menghiraukan pikiran negatifku, aku masih terus mengayuh sepedaku lebih kencang lagi. Sudah terlihat tempat lomba itu. Sesampainya di halaman parkir, aku langsung memarkirkan sepedaku disembarang tempat. Aku berlari memasuki gedung sambil kulihat denting jam di tanganku. Tinggal 1 detik lomba itu akan dimulai. Aku mengatur nafasku yang memburu dan mencari tempat sesuai no peserta yang aku bawa.
Kuselesaikan lukisanku dalam 3 jam, tersisa 1 jam saja. Ku menunggu hingga pengumuman pemenang. Tak lama aku menunggu, pengumuman pemenang diumumkan. Aku antusias mendengarnya, aku sangat menantikan namaku yang terpanggil. Dua pemenang sudah disebutkan, dan itu bukanlah namaku. Tapi beberapa detik kemudian, ada sebuah nama yang membuatku berjingkat ria, itu namaku, menjadi pemenang pertama lomba lukis. Air mataku menetes seketika, tak percaya rasanya aku bisa mewujudkan keinginanku hari ini. Dan aku tidak akan pernah menyerah untuk lebih meningkatkan keinginanku itu. Ketika kulangkahkan kaki untuk maju di atas podium, tiba-tiba ada seseorang yang memelukku dari belakang, kupalingkan wajahku. Itu Ayah, aku terkejut melihatnya berada disini. Tampak wajah Ayah bercahaya, kudengar kata-kata yang tidak kusangka.
“Kenza, kamu anak yang hebat. Ayah tahu kamu akan mengikuti lomba ini. Maafkan Ayah, jika Ayah tak memberitahumu dan memaksamu untuk menyembunyikan bakat satumu ini. Ayah bangga padamu, kamu bisa mengejar waktu yang mungkin hanya seribu satu orang yang mampu menyelesaikannya.”
Kini, semuanya kembali seperti awal aku ada di dunia ini. Kehadiran Ibu yang aku inginkan, harapan Ibu padaku dan keinginan akan harapanku yang bertolak belakang dari latar belakang harapan Ibu padaku. Meskipun aku harus mengejar waktu, bahkan per detik. Itu sangat berarti untukku hadapi, demi melanjutkan hidupku. “One second is important to continue your life.” Dan aku masih seorang pelajar SMA yang mempunyai cacat mata.
Saat bintang dan bulan masih menemani malam. Dalam mimpiku, aku, Kenza, seorang pelajar SMP yang suka bermain biola ayahnya dan sangat menyukai dunia seni rupa khususnya melukis, tak sengaja bertemu dengan seorang wanita cantik menyerupai parasku. Aku tidak tahu siapa namanya, tapi sekilas aku pernah melihatnya di tumpukan album yang masih tersimpan manis di gudang belakang rumah. Wanita itu memarahiku dan menyatakan bahwa aku anak yang tidak berguna sama sekali. Aku terkejut mendengarkannya, dan disaat aku sedang mencoba menanyakan alasannya, tiba-tiba mimpiku langsung rusak oleh suara petir yang menggetarkan jendela kamarku, lalu wanita itu menghilang seiring aku terbangun dari mimpiku. Ku lihat jam waker yang kuletakkan di meja samping kasur. Ku tajamkan penglihatanku dengan terpaksa, angka 02.15 terlihat dengan jelas . Derasnya hujan membawa suasana dingin masuk diantara sela pori-pori kulitku. Namun, ku lawan rasa dingin ini untuk mengambil air wudhu. Aku bersujud di sepertiga malam ini dan berdoa pada sang Maha Kuasa dengan angin malam yang menyelimuti helaiannya di setiap tetesan rahmat Allah. Dan berharap mimpiku beberapa menit yang lalu hanya bunga tidur yang mengantarkanku untuk bermunajah kepada Allah malam ini.
Setelah helaian angin dan tetesan air malam itu mengirimkan doaku. Seraya aku berkata “Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar.” Dengan doa ini, aku bersihkan pikiran dan hatiku. Semua alat indera telah kututup dengan doa sederhana ini. Lalu aku kembali ke kasur ku yang disertai bau khasnya.
Ketika garis pagi masih ragu-ragu untuk muncul di ujung pandangan kabut, disertai helaian sepoi angin yang dingin dan sejuk akibat efek hujan turun tadi malam. Seketika saja jam warker yang tak bersahabat telah merengek menandakan mentari siap menuntunku untuk meraih impian. Kabut pagi beserta pengikutnya menjadi saksi perjalananku menuju impian itu. Dengan sangat sukses jam warker berbunyi sangat nyaring. Aku berusaha mengerjapkan mataku beberapa kali. Membuka tirai jendela, membiarkan udara sejuk dan wangi masuk ke dalam kamar. Dengan mata yang masih penuh belek, aku berusaha menatap cahaya mentari yang masih bersembunyi di balik awan mendung yang menawan. Aku melompat dari ranjangku dengan keadaan rambut sebahuku yang berantakan. Dengan terpatah-patah aku menuju ke kamar kecil untuk mengusap wajahku dan merapikan rambutku lalu ku tutup dengan kerudung ala kadarnya. Kemudian terdengar suara yang tak asing dari balik pintu, aku membukanya dan terlihatlah sosok Ayah yang sedang membawa segelas susu dengan wajah yang sudah semakin berkeriput tetapi penuh senyum dan kasih sayang. Sosok yang baik dan selalu menemaniku sejak aku menginjakkan kaki di muka bumi ini. Sosok Ayah sekaligus Ibu untukku, ia bahkan memegang kendali dapur dan juga pandai memasak. Aku paling suka sayur bayam buatannya, apalagi ditambah dengan lele dan sambal terasinya, semua membuat aku semakin semangat makan. Aku senang sekali rasanya memiliki Ayah seperti malaikat dalam hidupku yang tanpa malu memiliki dan mengakui kekurangan ku pada kedua mataku. Kehadiran Ayah benar-benar membuat suasana hatiku nyaman.
“Kenza? Ini ayah bawakan susu coklat kesukaanmu… minumlah selagi masih hangat.” Pinta ayah kepadaku.
“Oke Ayah.” Balasku. “Thanks Dad. Love you.” seraya mencium pipinya dan mengambil alih segelas susu coklat hangat dari tangan kanannya.
“Urwell my darling. Cepatlah mandi dan sarapan.”
“Yes, Daddy.”
Setelah aku mandi, ku langkahkan kaki ku menuju meja kecil yang sangat sederhana berwarna coklat yang sudah tampak jelek. Ku ambil nasi dan sayur asam buatan ayah. Kami berdua duduk berhadapan. Tiba-tiba terbesit dalam pikiranku tentang wanita di mimpiku semalam.
“Yah, maafkan aku. Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?” tanyaku dengan antusias.
“Ya tentu boleh, Nak.” Jawabnya dengan ramah.
“Wajah ibu itu seperti apa sih, Yah?” tanyaku. “Apakah wanita di album yang berada di gudang belakang itu adalah sosok ibu?” simpuhku.
“Iya, Ken. Itu adalah sosok Ibu yang telah melahirkanmu.”
“Ibu? Lalu sekarang dimana Ibu, Yah? Kenapa Ibu ndak pernah menemaniku sampai usiaku beranjak remaja?”
Namun, tiba-tiba paras ayah berganti seketika. Dan dia seperti memikirkan sesuatu yang sama sekali tidak ku ketahui. Rasa penasaran ku yang terbesit seketika itu bercampur aduk mewarnai rasa kegelisahanku terhadap sosok ibu yang kudambakan sekian tahun lamanya.
Rudy POV
Ku termenung mendengar pertanyaan yang muncul dari mulutnya, ku tahu ini akan terjadi suatu hari nanti. Tapi bagaimana aku bisa menjelaskan pada anakku sendiri, aku takut hati lembutnya tersayat hanya karena penjelasanku.
*Flash back on
Ku tunggu kelahiran anak pertamaku di ruang operasi. Rasa tak sabar akan kehadirannya di dunia ini membuatku semakin tak karuan. Hatiku berdebar sangat kencang dengan seiringnya denting jam yang berbunyi. Hitungan detik demi detik ku lihat di sebuah jam dinding besar di hadapanku. Ketegangan pun dapat dirasakan di ruangan ini. Ketegangan di hatiku bergulir begitu deras. Aku memandangi wajah istri ku, rautnya dapat berbicara bahwa ia sangat bahagia. Melihat ia bahagia seakan-akan rasa tegang ku luntur. Tangannya memegang erat tangan ku. Keeratan itu merupakan energi dari seorang ibu. Nalurinya sangat erat di ruangan ini. Aku hanya bisa menjaga keeratan itu dengan doa tulus ku. Keinginannya memiliki seorang anak perempuan akan terkabulkan di ruangan ini, berkat anugerah yang Dia berikan. Detik demi detik di ruangan ini akan menjadi sejarah awal bagi ananda kami. Sang dokter dan suster menjadi tangan-tangan Allah, malaikat-malaikat pun juga berada di sini untuk menyaksikan makhluk mulia yang akan lahir di dunia ini.
Tak lama, akhirnya terdengar suara tangisan anak pertamaku yang memenuhi ruangan ini. Dengan wajah sumringah kusambut dia dengan seruan adzan di telinga kanan dan kirinya. Suster membawa anakku yang masih berselimut darah keluar dari ruang persalinan untuk di bersihkan.
Saat genap dua bulan usia anakku, aku merasakan ada sebuah keganjalan padanya. Aku baru menyadari ada keanehan pada matanya, letak pupil mata sebelah kiri yang seharusnya berada tepat ditengah justru sedikit berbeda dengan mata kanannya yang normal.
Kuceritakan keganjalan ini pada istriku, Liana Kintan. Ia tampak terkejut dan langsung berlari melihat anak kami. Seketika tubuhnya lemas dan raut wajahnya berubah menjadi kesal, lantas ia pergi ke kamar dengan membanting pintu. Aku terkejut melihat sikapnya, lantas aku menghampirinya. Ku lihat dia sedang mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Heran, rasa itu berkecamuk dalam pikiranku. Apa yang dia lakukan, aku sungguh tak menduganya sama sekali. Aku langsung menarik tangannya.
“Apa yang kau lakukan? Apa kau mau meninggalkannya sendirian hanya karena satu kekurangan yang ada pada dirinya?”
“Ya, apa peduliku terhadap dirinya. Dia sudah tak seperti harapanku lagi. Lebih baik, kutinggalkan dia saja. Sekarang aku minta cerai darimu.”
‘cerai’ satu kata yang tidak kuinginkan dari hubungan kami yang telah terangkai selama genap dua tahun. Sesak rasanya dada ini mendengar kata itu darinya.
“Apa yang kau bicarakan. Apa kau sudah gila?”
“Iya, aku memang sudah gila. Pokoknya aku mau cerai dari kamu.”
Kenangan akan dirinya datang kembali. Masih kuingat jelas bagimana saat dia memilih keputusan untuk meninggalkan kami berdua. Saat itu, aku hanya mampu mengiyakan kemauannya.
Kenza POV
“Yah! Ayah! Ibu masih hidup kan, Yah?” teriakku hingga ayah terjingkat. Kuulangi pertanyaanku dengan lembut seraya mengusap punggung ayah.
“Ibumu masih hidup, Nak. Tapi maafkan Ayah, Kenza. Ayah tak bisa menjelaskannya padamu. Tapi Ayah janji, Ayah akan tunjukkan sosok Ibu untukmu suatu hari nanti. Tapi Ayah ada syarat untukmu kalau kamu ingin bertemu dengan Ibu.” jelas ayah yang tak ku tahu arahnya.
“Baiklah, Yah. Kenza akan lakukan apa saja, agar Kenza bertemu dengan Ibu.” pintaku pada ayah dengan sungguh-sungguh.
“Maafkan Ayah, Kenza.”
“Ayah, Ayah jangan khawatir. Kenza akan bersungguh-sungguh melakukan keinginan Ayah. Kenza harus melakukan apa, Ayah?”
“Baiklah, Nak. Ayah percaya kamu pasti bisa melakukannya. Ayah ingin kamu menjadi penyanyi. Tunjukkan suaramu pada dunia. Oleh karena itu, Ayah akan memberikan jam tambahan les privat menyanyi bersama Bibi Lima setelah pulang sekolah.” Jelas Ayah kepadaku.
“Apa, Yah? ! Menyanyi? Tapi, Yah…” seketika itu aku terkejut dengan keinginan Ayah. Padahal aku lebih menyukai dunia lukis. Ku temukan duniaku ini sejak sebulan yang lalu. Setiap goresan yang ku oles di atas kanvas putih telah merasuk jiwa dan qolbuku setiap detiknya, manamungkin aku melepaskan duniaku begitu saja, aku juga ingin menjadi pelukis terkenal. Akhirnya kuputuskan, kegembiraanku ini hanya ku nikmati sendiri tanpa sepengetahuan ayah. Tetapi, ini juga salah ku karna aku tidak memberitahu Ayah tentang dunia ku, dalam hal ini Ayah tidak bersalah. Manamungkin aku membantah keinginan Ayah tersebut, di sisi lain pun gejolak rasa yang terus membakar mengajakku untuk menyatakan iya, aku sanggup menerimanya dan aku akan bertemu dengan ibu.
“Baiklah, Yah. Kenza berjanji untuk menempatinya.” Kuurungkan niatku untuk menyatakan yang sebenarnya. “Yasudah, Yah. Kenza berangkat ke sekolah dulu ya. Love you, Dad.” Salamku seraya mencium punggung tangan dan kedua pipinya.
“Assallamualaikum..” sahutku seraya berlari meninggalkan halaman rumah.
Suatu hari, sepulang dari sekolah, aku pergi ke tempat dimana aku sering meluapkan perasaan kesal dan lain sebagainya. Tempat itu selalu membuatku merasa nyaman. Ku keluarkan perangkat kesukaanku dan mulai melukiskan apa yang sedang kulihat saat itu. Hembusan angin yang sangat berdesir, air yang mengalir sejuk di depan ku serta suasana sore menjelang malam yang sangat aku kagumi diantara rahmat Allah SWT yang diberikan kepada ku.
Tiba-tiba suara menggelegar sangat keras mengejutkan ku dari arah belakang. Ku putar badanku sedikit menyerong dan ku lihat sosok pria tua rentah dengan baju yang sangat rapi dan bertopi seperti tampilan seorang seniman handal. Hanya satu pandangan yang ku temui dari sosok pria itu, dia membawa sebuah kanvas yang tampak sudah tidak layak untuk dipakai melukis, ia bahkan membawa tas besar, terlihat beberapa ujung kuas muncul di antara resleting tas besarnya.
“Hai, anak muda!” sapanya seraya memukul pundakku. Pandanganku terhadapnya langsung menghilang.
“Ahhh… maafkan saya pak.”
“Bolehkah aku duduk disampingmu? Karna sepertinya pemandangan disini sangat bagus untuk ku lukiskan di kanvas kesayanganku.”
“Oh, tentu saja boleh, Pak. Dengan senang hati.” Pria tua itu pun duduk di sampingku.
“Sepertinya kamu bakat melukis juga ya.”
“Ahh, tidak juga pak, saya hanya sering melakukannya di sini.”
“Tapi aku melihat, kau sangat menyukai lukisan dari hatimu sendiri.”
“Iya, Pak. Bapak memang benar. Tapi, permisi, Pak. Kalau boleh saya tau, nama Bapak siapa?”
“Panggil saja saya, Bang Maron.”
“Bang Maron… saya Kenza Erlangga, panggil Ken saja ya, Bang.”
Pertemuan ini langsung membuat ku menyukai pribadinya yang humor dan humble. Terkadang aku meliriknya diam-diam, ku lihat olesan cat yang dia pakai sangat menawan. Tak butuh waktu lama, lukisan yang dia mulai 1 jam lalu kini menghasilkan sebuah karya yang sungguh indah. Ketika aku sedang asik dengan duniaku. Tiba-tiba Bang Maron menyatakan sesuatu.
“Sejak pertama kali aku lihat arah tanganmu terhadap lukisanmu. Saya langsung suka dengan aliran lukisan kamu. Kalau kamu mau, besok sore datanglah ke sanggar lukisku di depan Taman Permai. Jangan lewatkan tawaran ini ya, Ken.” Simpulnya seraya meninggalkanku begitu saja.
Keesokan harinya, sepulang dari sekolah. Langsung ku langkahkan kakiku menuju sanggar Bang Maron tanpa sepengetahuan Ayah. Tak susah ku mencari letak sanggar lukisnya. Ku lihat sekeliling sudut demi sudut, tanda tak percaya ketika melihat sanggar Bang Maron. Megah dan indah menggambarkan kondisi sanggar miliknya. Sempat ku tak percaya melihat ia seperti orang miskin, kemarin. Ku langkahkan kaki ku kembali untuk masuk ke halaman utamanya. Sungguh menakjubkan ketika ku lihat ada sebuah ruangan besar di sudut halaman, ku tengok di sela jendela, tak kusangka ada beribu lukisan yang tersimpan rapi di sudutnya. Tiba-tiba ada suara yang menyambutku yang tak lain adalah Bang Maron ketika aku hendak masuk ke halaman sanggar. Ia mengenalkan banyak hal tentang seni lukis.
Ketika emosiku tidak stabil, aku selalu meluapkannya dengan pergi ke sanggar Bang Maron. Bahkan, Bang Maron mengajariku saat aku akan mengikuti lomba melukis se Kapubaten, membuatku semakin tahu arti seni dari sudut dalamnya. Kini, tempat itu menjadi salah satu tongkronganku bersama kuas dan cat. Ku lakukan ini tiap minggu 2 kali sepulang sekolah. Terkadang rasa was-was menghantuiku ketika aku berada di sanggar Bang Maron.
Tak terasa dua tahun aku menjalani semuanya, semua keinginan Ayah dan kebiasaanku yang selalu kulakukan diam-diam dibelakang Ayah. Tinggal satu tahun lagi, aku akan lulus dan tak sabar menjadi pelajar SMA. Rasa cemas menghadapi Ujian Nasional selalu menyelimuti hatiku. Serius, satu kata yang terus mewakili di setiap derap langkahku untuk bersekolah. Sekolah memberi pengumuman bahwa UJian Nasional akan dilaksanakan satu bulan lagi. Ku atur jadwal belajar untuk mengerjakan latihan soal Ujian Nasional agar efektif. Segala materi dan cara penyelesaian kucoba untuk memahaminya dan mengingatnya. Tak ada kata ‘aku lelah’ yang selalu terpatri di pikiranku. Tak lupa dukungan dari Ayah yang membuatku semakin semangat menghadapi Ujian Nasional. Tak terasa sudah 2 minggu berlalu, kukuatkan fisik dan psikis ku untuk minggu depan. Kuserahkan usahaku dengan berserah diri kepada Allah, ku langkahkan kaki untuk bermunajah kepadaNya.
“Ya Allah, tidak ada Tuhan selain Engkau. Hanya kepadamu, hamba memohon dan meminta. Lancarkanlah langkah hamba dalam menuju jalanMu. Serta lancarkanlah hamba dalam mengerjakan soal ujian nasional besok lusa. Manabila waktu itu telah datang, kuatkanlah hati hamba, damaikanlah mata, telinga dan mulut hamba, jauhkanlah pikiran hamba dari hal buruk, ketika hamba harus melihat mereka saat itu. Dengan izinMu ya Allah, ampunilah mereka yang sudah tidak percaya lagi padaMu, hingga mereka harus memilih langkah hidup dengan ketidakbenaran, dan ketidakjujuran. Ya Allah, Ya Rahman Ya Rahim, Engkau Maha Mengetahui segalanya, berikan petunjuk kepada hamba, apa arti dari mimpi hamba malam ini. Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah waqina 'adzabannar.”
Satu minggu kemudian.
Dengan derap langkahku yang menderu, aku melintasi jalan koridor sekolahku. Hati dan pikiranku saling berdialog. Selembar kertas kecil berwarna putih telah berada dalam genggaman mereka. Raut wajah mereka menyiratkan sebuah kebahagiaan dan ketenangan. Manipulasi raut mereka tidak dapat aku pecahkan. Aku mulai menstabilkan emosiku dengan doa. Hanya karena doa yang dapat menyelamatkanku dari perbudakan setan. Ambisiusku kini mengalahkan rasa khawatirku terhadap mereka. Karena dengan kekhawatiran dapat meruntuhkanku bersama sugestiku. Ketika ku masuk ruangan, banyak motif strategi yang dapat aku lihat. Bunyi nyaring tersebut pertanda persaingan akan dimulai. Tentu saja, tradisi ini selalu ada setiap tahunnya. Satu detik menjadi sejarah. Sejarah itu yang akan menggiring insan bangsa menjadi pemuda yang tak memiliki kualitas. Hanya satu banding seribu pemuda yang benar-benar berkualitas. Jika tradisi ini masih dilestarikan, bagaimana nasib bangsa Indonesia dalam dunia pendidikan. Dalam kompetisi pun juga menggunakan tradisi itu. Hanya sinar mata kebenaran yang dapat melihat itu semua. Keadilan perlu ditegakkan kembali.
Detik berjalan dengan lancar, begitu juga dengan strategi mereka. Hal yang tersirat mengiringinya. Aku hanya ingin dan bisa fokus dengan lembaran putih yang sedang kubaca. Aku memulainya dengan mengucapkan “Bismillah.” serta doa pendukung lainnya. Saraf otakku mulai beroperasi dengan sempurna. Strategiku adalah doa, hanya itu. Detik terhenti pada angka 00. Aku mengakhiri pekerjaanku dengan mengucapkan “Alhamdulillah.”, dengan penuh keyakinanku, hasilnya hanya aku serahkan kepada Allah SWT. Jam istirahat pun berlangsung. Mereka pada berhamburan keluar ruangan. Hanya ada beberapa dari mereka yang tetap memilih untuk tinggal. Aku berbincang dengan catatanku. Tidak lama, bel berbunyi dan persaingan dimulai kembali. Strategi mereka masih sama. Aku pun juga begitu.
Seminggu setelah pelaksanaan UN. Seakan-akan hari itu terulang pada hari ini. Entah apa yang aku rasakan hanya sekedar kekhawatiran saja. Kali ini aku mulai kritis. Setiap aspek harus aku pertimbangkan. Karena, aku berkesempatan untuk melihat beberapa Sekolah Menengah Atas, diantaranya beberapa pilihan, hatiku ada yang berkata tidak dan iya. Prokontra pun terjadi antara hati dan pikiranku. Ada sekolah yang tidak strategis, panas dan gerah, hatiku langsung berkata tidak. Ada juga sekolah yang strategis dan nyaman, namun hati berkata tidak. Tujuan terakhir, sekolah ini strategis, sejuk, hijau, dan nyaman, hati saya langsung berkata iya. Sekolah itu adalah SMA Negeri 1 Krian.
Ketika aku sudah tahu akan melanjutkan tingkat sekolah dimana, aku mulai mengatur strategi kembali. Hanya satu jalan yang benar-benar dapat membantuku, tentunya doa seorang Bapak. Aku juga bernadzar. Berikhtiar dan bertawakal. Pengumuman hasil UN pun akhirnya keluar. Hati berdetak sangat cepat. Keringat dingin mengucur kedua tanganku. Badanku terasa dingin dan panas yang tak beraturan. Angka 31,55. Angka itu menjadi hasil dari semua usaha dan doaku. Tidak lupa dukungan yang diberikan oleh bapakku, dan teman-temanku dengan impiannya. Mempunyai ambisi yang sama, tidak membuat pertemanan kita menjadi runtuh. Angka itu juga menyimpan sejarah dalam kepingan dunia kehidupanku. Aku memang bahagia, namun bahagiaku tidak sampai di sini. Masih ada perjuangan lagi.
Aku mengikuti beberapa tes untuk masuk di sekolah yang aku pilih. Getar yang sama ketika aku mengerjakan soal UN. Tentu saja, dalam persaingan ini sangat berbeda dengan kondisi waktu itu. Strategi musuhku sama denganku. Hal yang paling diunggulkan dari persaingan ini adalah sebuah kejujuran. Keadilan di sini benar-benar sangat ditegakkan. Mungkin, hanya tujuh banding sepuluh yang benar-benar seratus persen memenangkan persaingan ini. Hasil tes muncul di website sekolah. Aku mulai membuka website-nya dengan gadget yang sedang kupegang. Jantungku mulai berdetak sangat kencang. Sesungguhnya penantian ini tidak akan berujung. Namaku sudah kulihat dalam daftar itu. Rasa bahagia telah menghampiri hatiku. Dalam ketakwaanku, aku tidak mau hatiku menjadi padam dengan mengikuti bisikan setan. Karena tahta dan kesombongan tidak akan pernah akur. Harta bukanlah dalam diriku. Tahta bukan dalam daya pikirku. Kesombongan bukan dalam sikapku. Ikhtiarku menjadikanku bersikap lebih dewasa. Dengan hasil tes ini aku sangat bersyukur atas segala hal. Pernah terbesit dalam pikiranku, aku akan gagal. Namun, Allah mempunyai kehendak berbeda untuk hidupku. Khawatir akan kegagalan itu hanyalah sebuah momok yang terus membayangi untuk selalu ku lawan setiap detiknya.
Keesokan harinya, Ayah mengantarkanku untuk mencari pakaian seragam sekolah baru, ia juga mengajariku banyak hal tentang menemukan jati diriku yang sebenarnya, menjadi remaja yang akan mengalami problematika dalam hidup khususnya cinta. Bagaimana rasanya saat menjadi dewasa dengan mengambil resiko dari keputusan yang diambil. Semua ia jelaskan padaku, seperti tugas keduanya sebagai pengganti Ibu di hidupku. Semuanya terasa menyenangkan dan tak terasa waktu sudah menjelang malam. Akhirnya aku dan Ayah memutuskan untuk kembali pulang.
Beberapa hari kemudian..
Hari ini aku sudah mulai bersekolah, ayah memandangku penuh haru. Ia bahagia melihatku berpakaian baju seragam putih abu-abu. Ia memberikan pesan padaku untuk belajar sunguh-sungguh. Ayah mengantarkanku hingga gerbang sekolah. Untuk membuatku tidak seperti anak manja, ayah membiarkanku berjuang sendiri setelah memasuki gerbang sekolah. Disana kulihat banyak wajah asing yang aku temui di sekolah ini. Asing. Rasa ini yang selalu menyelimutiku dalam berkomunikasi. Secepat mungkin aku berusaha untuk bisa beradaptasi. Satu langkahku berdebar-debar.
Aku menarik nafas panjang, mencoba membaca beberapa peraturan sekolah yang sudah ayah dapatkan ketika kami mendaftar. Sekolah ini terdiri dari empat gedung yang melingkari pohon beringin yang sangat besar, dua gedung di bagian belakang sekolah dan dua lapangan di halaman utama masuk sekolah. Aku berkeliling mencari kelasku yang sudah ditentukan yaitu kelas X Ipa 1. Kelas itu terletak di lantai dasar dekat dengan Koperasi Siswa.
Saat aku hendak menginjak kelas, sudah ada beberapa anak yang sedang sibuk saling mengenal. Aku yakin, di sekolah ini tidak hanya aku seorang yang berasal dari sekolah yang sama. Sayangnya aku tidak menemukan satu orang pun yang dapat aku kenal di kelas ini. Namun, kulihat sosok perempuan yang berjilbab duduk di pojok depan ruangan. Aku duduk di samping kursinya yang masih kosong dan kuletakkan tasku. Kemudian, ku sapa dia dan berkenalan dengannya. Ia bernama Alisa. Dan tak terasa waktu kebersamaan kami telah berjalan begitu lama. Aku mulai merasa kebaikkannya yang tulus dan lembut. Pertemuan ini menjadikan hubungan kami semakin dekat satu sama lain. Bukan kata sahabat yang menggambarkan kedekatan hubungan kami, cukup dengan dua kata yang mewakili hubungan indah ini. ‘teman dekat’, ia sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri. Kami selalu menyayangi satu sama lain. Bahkan kebersamaan kami selalu menjadi sudut pandang banyak orang disekeliling kita. Berbagai pengalaman antara aku dengannya selalu kami ceritakan. Meskipun, banyak kesamaan diantara kita, kita memiliki keinginan dan harapan yang berbeda. Aku yang ingin menjadi pelukis terkenal sedangkan dia ingin menjadi manager dari perusahaan yang ia bangun. Tapi harapan dan keinginanku itu masih sama, menyembunyikannya dari tatapan Ayah. Aku selalu berusaha untuk terus menutupinya, karena aku tahu Ayah menginginkan ku untuk menjadi penyanyi terkenal.
Suatu hari setelah aku pulang sekolah, aku berniat untuk memilah-milah buku SMP dan SMA. Ketika aku ingin menyimpan buku-buku SMP di gudang belakang, aku tersandung buku-buku yang berserakan di lantai dan tak sengaja aku melihat buku diary ‘my dream and my hope for my sweet’s future’. Dengan rasa penasaran kusibakkan buku-buku yang berada di atas. Kuhempaskan semua debu yang menempel di sana. Aku terpengarah ke arah foto yang menempel di bagian cover buku itu. Ada bayi berusia satu setengah tahun yang menyerupai pola wajahku. Rasa tak percaya pun seketika melemaskanku ketika aku melihat sebuah namaku yang terlingkar dengan goresan tinta merah berada tepat di bawah foto itu. Aku terkejut ketika aku menyadari bahwa foto itu sangat berbeda dengan keadaanku sekarang, kedua pupil matanya normal, sama sekali tidak ada keanehan di sana. Terbesit sebuah pertanyaan yang seketika menggeluti pikiranku. ‘Siapa sebenarnya anak ini? Kenapa tertera namaku di sana? Apa hubungannya denganku?’
Pelan-pelan kubuka buku itu, ada sebuah foto Ayah dan Ibu yang usang. Kulebarkan senyumku ketika melihat kedua orang tuaku sedang berpelukan dan tertawa di foto itu. Kuambil foto itu lalu kusimpan di dalam sakuku. Tak sengaja aku melihat dua nama dibalik foto itu, aku sangat mengenal satu nama diantara kedua nama itu. Rudy Erlangga, itu adalah nama ayahku. Dan aku tahu siapa nama yang tertera disebelah nama Ayah, Liana Kintan. Itu adalah nama Ibuku. Lembar demi lembar aku lewati, ada deretan peristiwa dan masalah yang tertulis rapi dengan tinta berwarna-warni di atas garis-garis hitam yang tampak memudar. Sebuah rasa tak bersalah menyelimuti hatiku, gemetar tangan dan bibirku, tetesan air mata yang tak terbendung lagi ketika aku melihat sebuah foto usang yang penuh dengan coretan. Itu adalah diriku, yang mempunyai mata tak normal layaknya teman-temanku. Dan ada beberapa kalimat yang sangat tak kuduga.
Dear diary,
Betapa malunya diriku, seorang penyanyi terkenal yang mempunyai anak cacat sepertinya. Padahal aku menaruh harapan besar terhadapnya ketika dia dewasa nanti. Menjadikannya seorang penyanyi sepertiku, namun harus melebihi diriku. Rudy memanggilku ketika ia menyadari keanehan dari anakku. Aku melihatnya dengan berat hati dan rasa tak percaya. Aku membantah pernyataan suamiku terhadap anakku. Itu tak mungkin terjadi pada anakku. Apakah ini salahku yang tidak menjaganya dengan baik. STOP! Aku sudah tidak menginginkan anak itu, ia sudah memutuskan harapanku, dan aku tak mau melihatnya di setiap hariku. Terpaksa aku minta cerai dari Rudy.
Aku terkejut tanpa bisa berkata-kata ketika aku mengetahui ibuku lah yang menginginkanku menjadi penyanyi terkenal, bukan ayah. Itu adalah sebuah cambikkan terbesar dalam hidupku. Rasa kegelisahan dan kekecewaan beradu gesit di otakku, merangsang aku untuk berbuat keji dan ingin melukai diriku sendiri. Namun, ku usap air mataku perlahan, aku menyadari kenapa Ayah tak bisa menjelaskan tentang Ibu padaku saat itu. Kini, aku mengerti semuanya. Ibu meninggalkanku karena harapannya yang sangat besar terhadap diriku yang akan mengikuti jejaknya menjadi penyanyi terkenal, bahkan ingin lebih dari sekedar penyanyi terkenal biasa.
***
Tak terasa sebulan sudah aku menjadi pelajar SMA di Smanika, SMAN 1 Krian. Dan kegiatan rutinku tetap kujalani dengan sekuat tenagaku. Setiap hari Rabu dan Kamis sepulang dari sekolah, aku pergi ke sanggar bang Maron. Dan setiap hari Senin, Selasa dan Sabtu aku les nyanyi di bibi Lima.
Namun, suatu hari bibi Lima meminta ku untuk mengikuti audisi ‘The Voice Kids of Indonesia’ yang akan dilaksanakan 2 minggu lagi di Surabaya. Dengan senang hati, tawaran itu aku terima. Aku akan membuktikan kepada ibu kalau aku akan mewujudkan impiannya dengan kekuranganku di depan banyak orang bahkan di seluruh dunia ini. Tiba-tiba saja, ada orang mengetuk pintu rumah disaat aku sedang bermain biola. Kubuka pintu rumahku, ternyata ada postman yang mengantarkan surat.
“Permisi, ini dengan Kenza Erlangga.”
“Oh, iya, Pak. Betul, saya sendiri.”
“Ini mbak. Dan tolong tandatangan di sini ya, mbak.” Sepucuk surat dari tangannya, ia berikan kepadaku.
Kuterima surat itu dan membukanya, ternyata surat ini dari Bang Maron. Kubaca setiap bait yang tertuang di dalamnya. Ku tersentak keras melihat sebuah tulisan ‘Lomba Lukis tingkat SMA/SMK/MA se-Jawa Timur’ yang diadakan oleh Dinas Pendidikan dan dilaksanakan sama persis dengan tanggal Audisi ‘The Voice Kids Indonesia’, tapi waktu pelaksanaanya yang berbeda. “Bang Maron, bagaimana bisa aku mengatur semua ini? Apa aku akan ikut lomba ini?” tanyaku ragu. Rasa bimbangku muncul, tapi naluriku ingin aku memilih kedua-duanya. Akhirnya, kuputuskan untuk andil dalam lomba lukis ini. Hal ini sudah kunantikan sejak lama. Lomba se- Jawa Timur.
Aku terus berlatih dari hari ke hari. Ku lawan rasa capek di pundakku setiap aku pulang larut malam hanya karena latihan di rumah bibi Lima. Aku juga memperjuangkan harapanku. Tiap malam, diam-diam aku melukis.
Rudy POV
Malam dingin ini membuatku bangkit dari tempat tidurku. Teh panas, mungkin akan menghangatkan tubuhku. Ku berjalan menuju dapur untuk membuat minuman hangat untukku. Setelah rasa hangat itu membuatku berkeringat, aku kembali ke kamar tidurku. Tapi, hanya beberapa langkahku, aku tak sengaja melihat pintu kamar Kenza terbuka dan lampu kamarnya masih menyala terang. Tak biasanya dia tidur dengan kondisi seperti itu, karena dia tidak akan bisa tidur jika lampu kamarnya tetap menyala. Perlahan, aku mendekatinya. Terkejut hati ini, melihatnya masih bangun dan mengerjakan suatu hal yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Kulihat banyak lukisan yang mengelilinginya. Berbagai warna cat berhamburan di lantai kamarnya. ‘Apakah dia memiliki bakat melukis? Kenapa dia menyembunyikannya dariku?’. Ku biarkan dia dalam dunianya malam ini.
Keesokan harinya ketika dia bersekolah, aku mencoba mencari tahu apa yang dia sembunyikan selama ini dariku. Pertanyaan tadi malam harus aku ketahui, apapun itu. Akhirnya kubuka pintu kamarnya, kucoba membuka almarinya, aku terkejut melihat sebuah piala berdiri tegak di dalamnya. tertulis ‘Juara 1 Lomba Lukis tingkat SMP se-Kabupaten’. Dan tak sengaja, ada selembar kertas jatuh ketika piala itu kuangkat. Selembar kerta bertuliskan “Lomba Lukis tingkat SMA/SMK/MA se-Jawa Timur. Kulihat tanggal pelaksanaanya serentak dengan audisi nyanyinya. Tapi aku yakin, dia tidak akan melewati lomba ini, karena aku tahu harapannya yang sebenarnya setelah ku tahu semua ini. Sebuah piala dan surat itu menyadarkanku akan artinya keinginan dan harapan yang berbeda tipis. Kenza memiliki bakat melukis dan aku tak mengetahuinya sama sekali. Dia sangat pandai menyembunyikan ini semua dariku. Aku tak bisa memarahinya hanya karena itu, ini juga salahku. Aku seorang ayah yang bodoh untuknya. Kuputuskan untuk tak memberitahunya tentang ini.
Hari ini, aku harus memenuhi keinginannya. Kuambil telepon genggamku di atas laci dekat kasur. Ku tekan beberapa digit nomor mantan istriku, ibu Kenza. Terdengar suara nada tunggu di dekat telingaku.
“Assalamuallaikum, Liana. Aku minta padamu, datanglah ke audisi The Voice Kids Indonesia di Surabaya minggu depan. Kumohon datanglah ke sana dan lihatlah anakmu yang kau tinggalkan begitu saja hanya karna kekurangannya. Minggu depan, dia akan tampil di sana dan bernyanyi di hadapan banyak orang dengan penampilannya yang sangat sederhana.”
“What? It’s impossible for her . You’r crazy. Dia itu juling, dan aku tak akan pernah melihatnya lagi. You know? Aku tak akan datang hanya untuk melihatnya bernyanyi. Dia pasti kalah. Aku yakin itu.” dan langsung mematikan nada sambungnya. Aku hanya bisa berserah diri padaNya atas sikapnya yang masih sama. Ku kuatkan qolbu ini untuk mendoakan Kenza agar dia selalu dalam anugerahNya.
Kenza POV
Satu minggu kemudian.
“Besok hari keberangkatanmu, apa kamu sudah siap?” tanya Alisa yang sedang membantuku membuat kue tar dan beberapa masakan lainnya untuk perayaan kemenangannya di rumah bibi Lima.
“Ya lah, mau nggak mau aku harus siap. Hasil akhirnya kuserahkan pada Allah.”
“Ku doakan kamu masuk sampai ke babak final.”
“Emmmm… Makasih ya Lis. You make me smile this morning.” Riangku seraya mencium dahinya.
Kutinggalkan kegiatan dapur dan kuserahkan semuanya ke Alisa agar dia yang mengambil alih kegiatanku di dapur. Ku langkahkan kaki dengan berat hati menuju kamar untuk menyiapkan beberapa persiapan kepergianku ke audisi 'The Voice Kids Indonesia'.
“Kenza, teruslah bersemangat. Bibi yakin para juri akan terpukau mendengar suaramu..” Sahut Bibi Lima dari belakang punggungku.
“Ya, Bi. Makasih ya, Bi. Bibi sudah sabar mengajariku cara bernyanyi dari berbagai oktaf. Bibi juga selalu menyemangatiku. Atas bimbinganmu, aku bisa mewujudkan keinginan Ayah. Aku tidak akan mengecewakanmu, Bi.”
“Itu semua kulakukan juga karena dirimu. Sejak awal aku melihatmu, aku tahu kamu pasti memiliki bakat menyanyi dari dalam tubuhmu sendiri. Meskipun, kamu memiliki kekurangan, tapi itu justru menjadi kesuksesanmu. Serahkan semuanya pada Allah, Kenza. Bibi tidak akan pernah kecewa sampai kapanpun, Bibi selalu bangga padamu.”
“Uhhhh…. Bibiku yang baik hati. Terimakasih ya, Bi. Bibi selalu membuatku tersipu malu.”
***
Di audisi ‘The Voice Kids Indonesia’
“Mari kita saksikan peserta selanjutnya dengan nomor urut 101.” Pembawa acara telah memanggilku, itu tandanya aku harus bergegas naik ke atas panggung. Ketengangan pun terjadi. Tangan seakan gemetar kedinginan, hati berdegup begitu kencang. Di atas panggung. Aku menstabilkan hati dan pikiranku. Aku pun memperkenalkan diri.
Nama saya Kenza Erlangga, saya berumur 17 tahun. Saya akan menyanyikan lagu ciptaan Yusuf Islam, yang berjudul Your Mother. Lagu ini saya dedikasikan untuk kedua orangtua saya, khususnya pada Ibu saya dan untuk Bibi Lima dan teman-teman setia saya. Saya membawakan lagu ini karena saya sangat merindukan kehadiran sosok Ibu di dalam hidup saya.
Juri : Ya, baiklah, silahkan kamu tunjukkan penampilan terbaikmu ya sayang.
Who should I give my love to?
My respect and my honor to
Who should I pay good mint to?
After Allah and Rasulullah
Comes your mother
Who next? Your Mother
And then your father
Cause who used to hold you
And clean you and clothes you
Who used to feed you?
And always be with you
When you were sick
Stay up all night
Holding you tight
That’s right no other
My mother
Who should I take good care of
….
Ribuan penonton dan tiga juri memberi tepuk tangan meriah. Raut wajah mereka tersirat arti bahwa lagu yang kunyanyikan telah berhasil menembus sukma. Aku terharu, suasana yang tadinya tegang telah berubah menjadi suasana haru. Seakan-akan sebuah renungan telah sengaja dibuat. Tanpa aku pungkiri, air mata ku mengucur di pipiku. Entah, air mata ini menandakan arti sedih atau bahagia. Para juri pun memberi apresiasi.
“Kenza? Ya, Kenza, penampilan kamu di atas panggung sudah sangat bagus. Kamu sudah berhasil memberikan penampilan yang terbaik hari ini.” Juri 1 memberikan apresiasi dengan sangat antusias.
“Suara kamu, saya suka. Karena suara kamu itu berkarakter, dan sudah seperti diva penyanyi. Dan, yah saya akui penampilan kamu di atas panggung sudah sangat bagus. Walaupun ada sedikit kesalahan, tapi hal itu kamu dapat mengatasinya.” Tidak kalah antusiasnya dengan juri 1, juri 2 pun juga memberikan apresiasinya.
"Selain suara kamu yang berkarakter, gaun yang kamu kenakan juga sangat cocok untuk lagu ini. Di atas panggung ini, kamu juga pintar dalam membuat ekspresi setiap bait lagunya. I love it. Terus kembangin kemampuan ini."
Liana POV
Rasa bersalahku 17 tahun yang lalu selalu menyiksaku setiap malam. Beribu mimpi buruk selalu kualami setiap aku tidur. Tiba-tiba suatu hari, aku terkejut melihat nama Rudy di layar telepon genggamku yang sudah sekian tahun lamanya aku dengannya tak saling memberi kabar. Kuangkat teleponku, dan kutekan tombol hijau. Kudengar suara yang lama tak kudengar, aku terkejut dia memintaku untuk datang ke audisi anakku, dia akan tampil di hadapan banyak orang dengan kekurangannya. Tersentak hati ini, qolbuku ingin menyatakan iya aku akan melihatnya, tapi entah kenapa mulut ini masih enggan mengungkapkan isi hatiku. Kukatakan padanya jika aku tetap tak ingin melihatnya. Tapi, kuputuskan aku akan datang di audisinya.
Saat di audisi.
Aku merinding ketika mendengar suaranya, rasa yang kuidam-idamkan bertahun-tahun, kini aku mendengarnya pertama kali di antara beribu penonton yang ada di sini. Harapanku sudah terwujudkan. Rasa bersalah meninggalkannya membuatku ingin memeluknya.
Ketika dia kembali ke belakang panggung, kuberlari cepat untuk menemuinya. Kupeluk dia dari belakang. Betapa terkejutnya dia ketika melihatku. Senyum yang melebar di wajahnya menandakan betapa gembiranya dia ketika bertemu denganku. Dia mengatakan, “Ibu, maafkan aku, Bu. Aku bukan anak yang berguna untukmu. Aku cacat, bu.” Tetesan air mataku pun terjatuh seketika. Aku lah yang bersalah telah meninggalkannya hingga dia beranjak dewasa. Akulah, ibu yang tak berguna untuknya.
“Kenza, Ibulah yang harus minta maaf padamu. Ibu sudah meninggalkanmu hanya karna satu kekuranganmu. Kamu berhasil sayang, kamu sudah mewujudkan harapan Ibu.”
Kenza POV
Betapa senangnya hatiku, aku bertemu dengan Ibu. Kupeluk erat dirinya lagi. Aku tak mau melepaskannya begitu saja. Tapi, aku terpaksa harus meninggalkannya.
“Ibu, maafkan Kenza. Kenza harus pergi sekarang.”
“Baiklah, tak apa sayang. Ibu akan bermain kerumahmu besok.”
Aku bangga sekarang Ibu sudah menerimaku sebagai anaknya lagi. Ku alihkan pandanganku, aku harus bertemu Ayah segera.
“Apa kamu mau ijin keluar, sayang?”
“Iya, Yah. Kenza punya janji. Kenza harus pergi dulu.’
“Ya sudah, kesanalah.”
“Oke, Ayah. Assalamuallaikum.”
Belum sempat ayah menjawab salamku, aku sudah berlari meninggalkan tempat lomba itu. aku terburu-buru karena dikejar waktu untuk mengikuti lomba lukis. Untungnya saja, tempat itu tak terlalu jauh dari sini. Ku ambil sepedaku di dalam jok mobil. Aku terus mengayuh sepedaku tanpa memperdulikan orang yang berlalu lalang. Aku sempat hampir terjatuh, kerena saat aku menyebrang ada pengendara motor yang melaju kencang dari lawan arah. Untung saja aku bisa mengerim sepeda dan orang tersebut dengan kencangnya melewatiku serta meneriaki aku. Aku tak memperdulikan teriakan orang tersebut, aku langsung mengayuh sepedaku lagi. Aku melihat jarum jam tanganku menandakan kurang 5 menit acara akan dimulai, jika aku terlambat hanya dengan 1 detik, aku akan disfikualifikasi. Tapi aku tak menghiraukan pikiran negatifku, aku masih terus mengayuh sepedaku lebih kencang lagi. Sudah terlihat tempat lomba itu. Sesampainya di halaman parkir, aku langsung memarkirkan sepedaku disembarang tempat. Aku berlari memasuki gedung sambil kulihat denting jam di tanganku. Tinggal 1 detik lomba itu akan dimulai. Aku mengatur nafasku yang memburu dan mencari tempat sesuai no peserta yang aku bawa.
Kuselesaikan lukisanku dalam 3 jam, tersisa 1 jam saja. Ku menunggu hingga pengumuman pemenang. Tak lama aku menunggu, pengumuman pemenang diumumkan. Aku antusias mendengarnya, aku sangat menantikan namaku yang terpanggil. Dua pemenang sudah disebutkan, dan itu bukanlah namaku. Tapi beberapa detik kemudian, ada sebuah nama yang membuatku berjingkat ria, itu namaku, menjadi pemenang pertama lomba lukis. Air mataku menetes seketika, tak percaya rasanya aku bisa mewujudkan keinginanku hari ini. Dan aku tidak akan pernah menyerah untuk lebih meningkatkan keinginanku itu. Ketika kulangkahkan kaki untuk maju di atas podium, tiba-tiba ada seseorang yang memelukku dari belakang, kupalingkan wajahku. Itu Ayah, aku terkejut melihatnya berada disini. Tampak wajah Ayah bercahaya, kudengar kata-kata yang tidak kusangka.
“Kenza, kamu anak yang hebat. Ayah tahu kamu akan mengikuti lomba ini. Maafkan Ayah, jika Ayah tak memberitahumu dan memaksamu untuk menyembunyikan bakat satumu ini. Ayah bangga padamu, kamu bisa mengejar waktu yang mungkin hanya seribu satu orang yang mampu menyelesaikannya.”
Kini, semuanya kembali seperti awal aku ada di dunia ini. Kehadiran Ibu yang aku inginkan, harapan Ibu padaku dan keinginan akan harapanku yang bertolak belakang dari latar belakang harapan Ibu padaku. Meskipun aku harus mengejar waktu, bahkan per detik. Itu sangat berarti untukku hadapi, demi melanjutkan hidupku. “One second is important to continue your life.” Dan aku masih seorang pelajar SMA yang mempunyai cacat mata.
Comments