Menganilisis Struktur Cerpen
Aku Benci BMW, Ayah!
Oleh : Adi Rustandi
Hampir
satu jam aku duduk di pelataran masjid Al-Ihsan Darul Hikam. Pandanganku
mengarah tepat ke Jalan Ir.H.Juanda. Beberapa temanku sudah terlebih dahulu
meninggalkanku pulang karena sudah dijemput. Dan kini, tinggal giliran aku. Sejenak
kutatap langit mulai mendung. Hitam sekali. Dan benar saja, perlahan butiran
demi butiran air hujan pun turun menyapa bumi. Aku mencoba merapatkan tasku ke
dada sambil terus berharap Ayah segera datang menjemput.
“Akmal, belum dijemput?” teriak
faliq dari arah bawah tangga masjid. Aku hanya menggelengkan kepala dengan
sedikit menerbitkan senyuman.
“Aku duluan, ya!” seru Faliq sambil
berlari menuju mobil jemputannya. Hujan pun perlahan semakin membesar. Suaranya
bergemuruh. Perasaanku mulai sedikit cemas karena Ayah belum juga datang. Aku
bersandar di dinding masjid sambil membayangkan wajah Ayah. Wajah Ayah yang
semakin hari semakin tuza. Guratan – guratan keriput di wajahnya semakin hari
semakin tampak nyata. Tambah lagi, uban di kepala Ayah yang semakin hari pula
semakin memutih.
Sesekali aku pun berdiri sambil
menatap ke arah jalan, siapa tahu Ayah sudah ada di depan untuk menjemputku.
Tak lama kemudian, di balik hujan deras, kulihat Ayah mendorong dan memakirkan
BMW-nya sendirian. Aku mencoba turun dari tangga masjid. Namun, saat beberapa
langkah kakiku menuruni anak tangga, teriakan Ayah melarangku untuk
melanjutkannya.
“Sudah, Akmal di atas saja. Sebentar
Ayah ke sana. Hujannya deras sekali.”
Aku pun menuruti apa Perintah Ayah.
Oh, ya, BMW yang Ayahku punya bukan seperti mobil mewah yang sering menghiasi
jalanan ibukota. BMW Ayahku berupa motor tua, tahun 70-an. Makannya teman –
teman sering mengejekku dengan sebutan BMW, Bebek Merah Warnanya. Jujur
terkadang merasa kesal sekali dengan ejekan itu. tapi, mau apa lagi. Ayahku
punyanya itu. Bahkan yang terkadang membuat menjadi dongkol adalah seperti
sekarang. Motor Ayahku kalau terkena hujan, selalu saja mogok. Ingin rasanya
kutendang BMW itu. Tapi…
“Maafkan, ayah! Maafkan Ayah untuk
kesekian kalinya terlambat menjemput Akmal pulang. Ayah tahu, Akmal pasti
kesal, ya, sama Ayah?” tanya Ayah sambil melepaskan jas hujannya. Aku tak
berkomentar. Ini adalah permintaan maaf Ayah yang kesekian kalinya saat
terlambat menjemput dengan keadaan motor mogok.
“Kenapa Akmal diam saja?” kembali Ayah bertanya
sambil mendekatiku. Aku hanya duduk bersila dan tertunduk. Hingga perlahan, air
mataku ini pun mengalir membentuk aliran sungai kecil di pipiku.
“Kenapa Akmal menangis?” tanya Ayah kembali. Perlahan
kuangkat kepalaku sedikit sambil menyeka air mataku dengan punggung tangan
kananku.
“Ayah, sampai kapan Akmal harus terus menerima
ejekan dari teman-teman gara-gara motor tua itu?” suaraku sedikit emosi dan
kembali menundukkan kepala. Ayahku tak menjawab. Ayah mencoba bangkit dari
tempat duduknya. Matanya menatap ke arah jalan sambil melihat BMW kesayangannya
yang masih saja diam tak bergerak. Dan hujan pun semakin deras.
“Sampai kapan Akmal harus terus menunggu Ayah yang
selalu terlambat menjemput?”
“Sampai kapan Akmal harus terus kesorean atau bahkan
kemalaman sampai ke rumah?”
“Sampai kapan Akmal harus menggosok busi motor tua
itu?”
“Sampai kapan Akmal harus mendorong motor tua itu,
Ayah?”
“Sampai kapan? Sampai kapan?” teriakku perlahan
parau dengan diiringi air mata.
Kini, Ayah membalikkan badannya. Tak sedikit pun
wajah Ayah terlihat menyesal atau bahkan marah dengan semua yang kuucapkan.
Justru Ayah melemparkan senyumannya ke arahku.
“Akmal, motor yang setiap hari mengantar
dan menjemput itu sangat berharga sekali untuk Ayah. Bukan hanya manfaatnya.
Perlu Akmal tahu, motor itu menyimpan sejuta kenangan tentang Ayah dengan
almarhum Ibu. Terutama ketika Ayah dan almarhum Ibu sedang dalam keadaan sulit.
Jadi…”suara Ayah tertahan.
“Iya, Akmal tahu. Tapi, mau sampai
kapan Akmal seperti ini terus? Sampai kapan, Ayah? Aku benci BMW, Ayah!”
teriakku sambil mencoba bangkit dari duduk dan melempar pandang ke arah
langit-langit masjid.
Kali ini, Ayah tidak menjawab.
Tiba-tiba…
“Duarrrr…” suara petir menyambar
tepat di depan masjid.
Spontan, aku pun berlari dan memeluk
Ayah ketakutan. Dan perlahan, kurasakan dekapan Ayah yang dingin karena jas
hujan yang dipakainya bocor perlahan terasa hangat di dadaku.
“Maafkan Akmal, Ayah. Tapi memang
itu yang Akmal rasakan. Akmal capek, Ayah. Dan Akmal malu dengan BMW itu,
Ayah.” Ayah menatapku dalam-dalam. Kulihat matanya berkaca-kaca. Hingga
perlahan air mata Ayah pun terjatuh di antara guratan keriput yang kulihat
menyejukkan sore itu. Meski sore itu menjadi sore yang cukup dongkol, tapi
hatiku merasa lega. Dongkol karena kembali harus telat dijemput oleh Ayah dan
lagi-lagi motornya mogok. Namun, aku sedikit merasa lega karena semua emosi
yang aku rasakan akhirnya tumpah juga.
Seminggu berlalu, dan seminggu itu pula aku tak
dijemput Ayah. Aku mencoba memberanikan diri
untuk naik mobil angkutan umum atau angkot ke sekolah. Berangkat
sendiri, dan pulang pun sendiri. Semua berjalan sesuai dengan rencana. Bahkan,
aku merasakan kenyamanan tersendiri saat berangkat dan pulang menggunakan
angkot. Aku lebih sering tidur di dalam angkot. Apalagi kalau pulang sekolah
sehabis olahraga, bawaannya ngantuk sekali. Rumahku di daerah Ibrahim Aji,
sekarang menjadi Kiaracondong di Bandung tengah. Angkot yang kutumpangi kali
ini lewat jalur flyover. Dan sore itu
hujan deras sekali menggelegar. Hingga tidurku pun tak nyenyak di dalam angkot.
Mataku tak bisa terpejam. Jalanan macet total menuju arah Kiaracondong. Tapi sebaliknya
jalur ke arah Jalan Jakarta ramai lancar. Kulihat hilir mudik kendaraan di arah
seberang jalan. Beberapa pengendara motor banyak yang berteduh karena tidak
membawa jas hujan. Namun, ada pemandangan yang membuat mataku sedikit mengubah
posisi dudukku. Saat kulihat seorang pengendara motor dengan jas yang tak asing
dipakainya, mendorong motornya naik ke atas flyover.
Kucoba mengucek mataku berulang-ulang dan menyakinkan kalau motor yang sedang di dorong itu bukan BMW milik Ayah dan
bukan pula Ayah yang mendorongnya. Perlahan kudekatkan wajah ini ke arah kaca
samping yang tepat berhadapan denganku.
“Maaf, permisi sebentar!” suaraku meminta. Kuusap
embun di kaca angkot dengan tangan kananku. Dan… “Masya Allah…stop, Pak
Sopir!” teriakku keras sekali. Aku pun
segera turun dari angkot dengan tak lupa membayar ongkosnya. Kuseberangi Jalan
Ibrhim Aji dengan hati-hati. Dan langkah kakiku pun mulai mengejar bayangan
mirip Ayah yang menggunakan jas hujan berwarna abu itu. Sesekali aku mencoba teriak. Tapi, hujan yang sangat deras
mengalahkan suaraku.
“Ayah.. Ayah… Ayah…” teriakanku kembali memanggil
Ayah dari jarak yang cukup jauh. Bayangan mirip Ayah itu sama sekali tak
mendengar teriakanku. Ia masih terus mendorong motornya dengan sesekali berlari
kecil saat jalanan mulai menanjak. Kini, jarakku tinggal 100 meteran dengannya.
Melihat ciri-ciri dari arah belakang, aku yakin itu adalah Ayah. Bahkan ketika
sedang mendorong motor, aku semakin yakin bahwa itu benar-benar Ayah. Namun
tiba-tiba, kulihat sebuah truk dengan kecepatan tinggi menyerempet Ayah hingga
terjatuh.
“Ayah…” suaraku kembali berteriak sambil berlari
mendekati Ayah. Motor Ayah terlepas. Ayah tersungkur dan kepalanya terbentur
pembatas jalan. Dan… “Ayah, bangun! Bangun, Ayah! Ini Akmal,” teriakku sambil mencoba
membangunkan Ayah yang beberapa saat tak sadarkan diri. Mata Ayah membuka dan
menutup pelan sekali. Dan hujan pun semakin deras sekali.
“Ini Akmal?” suara Ayah lirih tak bertenaga. “Maafkan,
Ayah, Akmal!” Truk yang menyerempet Ayah tak bertanggung jawab. Sopir truk itu
melarikan diri.
“Aduh, sakit sekali kepala Ayah ini, Akmal!” Kucoba
meraba bagian belakang kepala Ayah. Dan…
“Masya Allah… kepala
Ayah berdarah. Tolong, tolong Ayah saya!” suaraku berteriak meminta tolong. Aku
menangis sejadi-jadinya. Namun, hujan yang deras mengalahkan jeritanku. Kucoba
mengangkat tubuh Ayah, tapi tak bisa.
“Akmal, sekali lagi maafkan Ayah, ya! Maafkan kalau
Ayah selama ini telah membuat Akmal malu. Maafkan kalau selama ini Ayah telah
membuat Akmal kecewa. Tapi, perlu Akmal tahu BMW itu adalah amanah terakhir
dari almarhum Ibu yang harus Ayah jaga. Dan Ibu sempat berpesan, kalau motor
itu yang harus mengantarkan dan menjemput Akmal. Ke mana un. Akmla pergi.
Termasuk ke sekolah. Ayah tidak mau mengecewakan almarhum Ibu,” suara Ayah
semakin tak bertenaga.
“Maafkan, Akmal, Ayah! Maafkan!” suaraku berat penuh
penyesalan.
“Terakhir, selama seminggu ini ketika Akmal
berangkat ke sekolah dengan naik angkot, sebenarnya Ayah selalu mengikuti Akmal
dari belakang. Ayah sering melihat Akmal tertidur di dalam angkot. Apakah itu
saat berangkat atau pulang. Ayah tidak pernah meninggalkan sekolah, sebelum
Akmal benar-benar masuk ke gerbang sekolah. Begitu pun ketika Akmal pulang,
tiga puluh menit sebelum bel berbunyi, selama seminggu ini Ayah sudah hadir di
skeolah. Tapi, Ayah hanya melihat Akmal dari atas jembatan penyeberangan saja.
Ayah takut Akmal marah lagi kalau Ayah jemput dengan BMW itu. akanya, Ayah
putuskan untuk melihat Akmal dari kejauhan. Meski jujur, Ayah sedih sekali. Ayah
sedih karena tidak bisa menjaga amanah almarhum Ibu. dan, tadinyya Ayah
berharap hari ini bisa jemput Akmal tepat waktu. Tapi ternyata, sore ini hujan
deras sekali. Maafkan Ayah, Akmal! Maafkan!” suara Ayah semakin barat. Kupeluk
erat tubuh Ayah dengan diiringi tangisan.
“Ayah, sekali lagi maafkan Akmal! Maafkan Akmal,
Ayah!”
“Akmal tidak salah. Ayah yang salah. Jaga BMW itu!
Jaga dan…” suara Ayah mulai terbata-bata. Napasnya terengah-Engah. Dan mata
Ayah menutup dan membuka pelan sekali. “Bimbing Ayah, Akmal!” jawab Ayah
semakin lemah. Bibir dan badan Ayah kini bergetar hebat. Aku ketakutan. Aku
bingung. Apakah ini yang disebut sakaratul
maut? Aku pun segera mendekatkan mulutku dan berbisik ke telinga Ayah.
“Ayah, ikuti Akmal. Laa…ilaaha illallaah…laa…ilaaha illallaah… laa..ilaaha illallaah!”
suaraku perlahan parau membimbimbing Ayah. Ayah pun mencoba menggerakkan
bibirnya dan sebisanya mengikuti kata-kataku. “Laa ilaaha ilaallaah…” suara ayah lirih dan tidak bertenaga. Napas
Ayah tiba-tiba berhenti dan tidak meneruskan kata-katanya. Aku pun tergugu
melihat Ayah tak merespon semua yang aku katakana. Aku hanya bisa memeluk Ayah
erat dn menangis dengan sejuta penyesalann.
“Maafkan Akmal, Ayah! Maafkan! Akmal janji akan
senantiasa menjaga semua manah yang Ayah sampaikan Terima kasih, ayah. Salam
rindu untuk Ibu! selamat jalan, Ayah!”
***
~ TAMAT ~
ANALISIS STRUKTUR
Judul : Aku Benci BMW, Ayah !
Orientasi :
Hampir
satu jam Akmal duduk di pelataran masjid Al-Ihsan Darul Hikam. Pandangannya
mengarah tepat ke jalan Ir. H. Juanda. Beberapa temannya sudah dijemput
terlebih dahulu. Namun, Akal masih menunggu jemputan dari Ayahnya hingga turun
hujan yang sangat deras.
Kompikasi :
Setelah
lama menunggu, akhirnya sang Ayah menjemput dengan keadaan BMW yang mogok.
Keadaan BMW yang seperti itu membuat Akmal kesal hingga membenci BMW milik
Ayahnya itu. BMW yang selalu membuat ia menjadi bahan ejekan oleh teman-temannya,
membuat ia selalu menunggu dengan keterlambatan Ayahnya untuk menjemput , dan
membuat ia selalu mendorong motor tua itu ketika mogok. Ingin sekali Akmal
menendang motor tua itu. seketika itu emosi Akmal memuncak, hingga akhirnya ia
memberontak kepada Ayahnya. Namun, tidak sedikit pun wajah Ayahnya terlihat
menyesal atau marah, namun Ayahnya hanya melempar senyum. Ayahnya hanya bisa
menjelaskan bahwa motor itu sangat berharga dan telah menyimpan sejuta kenangan
dengan almarhum Ibu Akmal, terutama ketika mereka dalam masa sulit.
Klimaks :
Setelah
seminggu Akmal tidak dijemput oleh Ayahnya, ia memberanikan diri untuk naik
angkot. Berangkat sendiri dan pulang pun sendiri, ia merasakan kenyamanan itu. Seketika
sore itu hujan deras, dan angkot yang ditumpangi oleh Akmal melewati jalur
Flyover. Saat itu ia melihat seorang pengendara motor mendorong motornya naik
ke atas flyover, ia tidak asing lagi dengan seseorang itu. Akmal segera turun
dari angkot dan menyeberangi jalan. Ia berusaha mengejar dan memanggil Ayahnya
itu. Namun, hujan deras itu mengalahkan suaranya. Tiba-tiba, Ayah Akmal
diserempet dengan kecepatan tinggi oleh sebuah truk, namun truk berhasil lolos.
Resolusi :
Ayah
Akmal tersungkur dan kepalanya berdarah akibat terbentur pembatas jalan. Akmal
berusaha membangunkan Ayahnya, mata Ayahnya pun terbuka seketika. Akmal meminta
maaf kepada Ayahnya, dan ia berusaha mencari pertolongan. Akmal menangis
sejadi-jadinya, ketika Ayahnya meminta maaf kepadanya karena ia telah membuat
Akmal malu. Tangisan Akmal ialah tangis penyesalan Ayahnya sempat menjelaskan
bahwa BMW itu adalah amanat terkahir dari lamarhum Ibunya untuk mengantar dan
menjemput Akmal kemana pun Akmal pergi. Seketika saja bibir dan badan Ayah
bergetar hebat, namun Akmal terlihat ketakutan dan bingung. Seketika itu Akmal
mendekatkan mulutnya dan berbisik ke telinga Ayahnya. Ia membimbing Ayahnya.
Dan tiba-tiba napas Ayahnya pun berhenti, Akmal memeluk erat dan menangis
sejuta penyesalan.
Comments