Analisis Struktur Cerpen
Ayah
dan Pelangi
Oleh
: Nana Sastrawan
Kamu tahu? Hari ini aku marah sekali pada Ayah. Hatiku
sangat kesal. Setiap aku menegeluh, ia selalu tersenyum, tidak ada sepatah kata
pun terucap dari mulutnya. Aku sebenarnya bukan anak manja, setiap hari bangun
pagi, membereskan tempat tidur, menyiapkan makan untuk Ayah dan belajar di
sekolah dengan giat dan tekun.
Ibuku sudah lama meninggal. Aku kesepian, mungkin
Ayah juga merasakan hal yang sama. Namun, bukan karena Ayah akan menikah lagi
aku marah padanya. Sebab Ayah tidak pernah mengenalkan seorang wanita kepadaku.
Bukan juga karena aku rindu kepada Ibu, au hanya ingin hidup seperti teman-temanku.
Setiap hari, di antara teman-temanku merasakan
kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan. Mereka berangkat ke sekolah diantar
oleh Ayah mereka menggunakan mobil, sedangkan aku harus berdesak-desakan dalam
bus kota, bercampur dengan pencopet, juga pengamen. Setiap hari, teman-temanku
memakai seragam yang rapi karena disetrika oleh pembantu mereka, sedangkan aku
harus menyetrika, mencuci, memasak, membersihkan rumah sendiri. Setiap hari,
teman-temanku makan di kantin dengan uang jajan besar, sedangkan aku harus
makan nasi bungkus yang aku bawa dari rumah. Setiap hari, mereka dengan nyaman
mengikuti kursus dengan ruang AC untuk mendapatkan nilai-nilai terbaik,
sedangkan aku hanya dapat belajar di rumah pada malam hari sebelum tidur.
“Aku capek Ayah! Semua harus aku lakukan sendiri.
Sedangkan Ayah sibuk berkerja, aku capek Ayah. Capek, sangat capek!” teriakku
langsung masuk kamar. Aku menangis di dalam kamar, hatiku terasa sangat pedih.
Mengapa nasibku harus seperti ini, mengapa aku harus merasakan hal yang tidak
pernah teman-teman rasakan. Mengapa? Dan yang paling membuatku marah adalah
ketika Ayah masuk kamar, ia membelai rambutku sambil berkata : Besok kita
mendaki gunung.
Aku tidak suka mendaki gunug, berkemah atau hal-hal
yang berkaitan dengan masuk hutan. Aku perempuan, aku lebih suka Ayah menagajak
aku menonton, berbelanja, makan di restoran atau jalan-jalan ke pantai.
“Ayah tidak pernah sayang padaku!” Ayah masih
tersenyum, ia mengemasi barang-barang untuk persiapan mendaki gunung. Ia tidak
pernah berkata selain tersenyum, seolah ia memang tidak pernah memahamiku
sebagai perempuan.
“Aku benci Ayah!”
Tiba-tiba Ayah menghentikan aktivitasnya, ia memandangku
dengan tatapan sendu. Lalu tersenyum, lagi-lagi tersenyum.
“Sudah mulai terang, ayo cepat bawa
barang-barangmu!” perintahnya.
“Ayah! Aku…”
“Tolonglah, Ayah janji ini terakhir kalinya Ayah
menyuruhmu mengikuti kemuaan Ayah.”
Aku diam - mataku yang telah sembab akibat menangis
semalam, memandang Ayah dengan pebuh tanda-tanda. Lalu, muncul sebuah perasaan
senang. Sebab aku tidak akan melakukan kegiatan di rumah yang menyebalkan itu
jika aku ikut mendaki gunung.
“Janji?” kataku.
“Ayah janji.”
Kemudian aku mengambil tas gendong yang entah berisi
apa. Sebab aku tidak pernah mengemasi barang-barangku untuk mendaki gunung.
Ayah juga membawa tas ransel yang besar, lalu kami berangkat.
***
Jalan untuk mendaki gunung sangat terjal, becek dan
berliku. Aku sudah tak tahan lagi, sedangkan Ayah melangkah dengan santai di
depanku. Sesekali tanganku menepuk nyamuk-nyamuk liar yang menyerangku, badanku
sudah lengket oleh keringat, apalagi sudah seharian aku tidak mandi. Lampu
penerang di tanganku membantu aku meniti batu-batu licin menuju ke puncak
gunung, semantara udara sangat dingin di pagi ini, pagi yang masih gelap. Ayah
membangunkanku pukul 3 pagi, dan mengemasi tenda. Lalu ia mengajakku meneruskan
perjalanan untuk mencapai puncak. Entah ada apa di sana? Aku sendiri sudah
sangat tidak bentah, namun demi janji Ayah yang akan menuruti segala kemauanku,
aku rela melakukan ini semua.
Beberapa menit kemudian, aku dan Ayah berada di
jalan yang datar, jalan setapak di tepi jurang. Aku belum dapat memastikan ada
apa di bawah jurang itu, hanya telingaku menangkap suara air mendidih dan bau
belerang.
“Nah di sinilah kita beristirahat!” ajak Ayah.
Kami duduk di sebuah batu besar, kesempatan ini
tidak aku sia-siakan untuk menenggak air mineral, sebab kerongkonganku sangat
kering. Perlahan matahari terbit dari sebalah timur, aku melihat langit berubah
menjadi merah.
“Lihatlah ke atas sana!”
Matahari terbit di atas sini sungguh sangat indah,
aku tidak pernah menyaksikan matahari merah seperti telur mata sapi yang selalu
aku sediakan untuk makan pagi, langit dari merah menjadi jingga, kemudian
terbentang pelangi yang sangat indah, warna-warna pelangi sangat dekat terlihat
jelas dan berkilauan.
“Apakah kamu merasa nyaman melihat itu?” tanya Ayah.
Aku menarik napas dalam-dalam, udara yang masih
segar. Entah mengapa hatiku merasa sangat nyaman , hilang sudah rasa lelah
setelah perjalanan mendaki.
“Aku senang Ayah.” Jawabku pendek.
Kami duduk bersebelah di atas batu menikmati segala
panorama di atas gunung itu, perlahan mataku dapat menyaksikan sebuah ceruk
yang besar dengan air belerang mendidih, inilah rupa kawah.
“Apa kamu masih ingat segala keluhanmu kepada Ayah?”
“Maksud Ayah?” aku bertanya kembali, hatiku mulai
merasa tidak enak dengan pertanyaan Ayah.
“Kemarilah!” Ayah membelai kepalaku dan
menyandarkannya di pundak.
Sejenak kami terdiam.
“Keindahan yang kita saksika ini adalah semua hasil
dari kerja keras mendaki. Kita melewati berbagai macam jalan yang berliku,
tidur dengan tikar, kedinginan, banyak nyamuk dan serangga, merasa lapar dan
harus berhemat agar bekal kita tidak habis di tengah jalan. Ini yang kita
dapatkan sekarang, sebuah panorama yang sangat indah.”
Aku terdiam menyimak perkataan Ayah.
“Lihatlah ke sekelilingmu, apakah di sini ada banyak
orang? Tidak ada, bukan? Keindahan ini adalah milik kita berdua, dan begitulah
hidup. Segala kerja kerasmu di rumah, belajarmu di sekolah akan mendapatkan
hasil indah yang tidak semua orang mendapatkannya.”
Aku tertegun – kini aku paham mengapa Ayah
mengajakku ke mari, aku sangat paham apa yang Ayah rasakan dan aku tahu, bahwa
Ayah tidak acuh kepadaku, dia mendengar segala keluhanku.”
“Ayah akan tepati janji, pulang dari sini kamu boleh
untuk tidak melakukan apa-apa.”
Mendengar kata-kata itu, hatiku menjerit. Aku telah
melukai hati Ayah dengan segala keluhanku, padahal Ayah tidak pernah mengeluh
bekerja untuk hidupku, untuk sekolahku, untuk masa depanku. Air mata mulai
menetes – aku teringat segala penderitaan Ayah yang hidup seorang diri untuk
diriku. Aku langsung memeluknya.
Maafkan aku Ayah! Ucapku dalam hati.
ANALISIS
STRUKTUR
Judul :
Ayah dan Pelangi
Orientasi :
Hatiku sangat kesal.
Setiap aku mengeluh, Ayah selalu tersenyum,. Tidak ada sepatah katapun terucap
dari mulutnya. Sebenarnya aku bukan anak manja. Telah lama Ibuku meninggalkan
aku, sungguh aku merasaka kesepian, mungkin Ayah juga merasakan hal yang sama.
Bukan karena Ayah akan menikah lagi aku marah padanya, sebab Ayah tidak pernah
mengenalkan seorang wanita padaku.
Komplikasi :
Setiap hari,
diantara teman temanku merasakan
kebahagian yang belum pernah aku rasakan. Mereka berangkat ke sekolah diantar
oleh Ayah mereka menggunakan mobil, memakai seragam yang rapi karena disetrika
oleh pembantu mereka, dan makan di kantin dengan uang jajan besar, serta nyaman
mengikuti kursus di ruang AC. Sedangkan aku harus berdesakan dalam bus kota,
makan nasi bungkus, dan belajar di rumah pada malam hari. Aku harus melakukan
kegiatan rumah yang sangat menyebalkan. Seketika itu emosiku memuncak. Aku
mengeluh kepada Ayah, dan aku marah padanya karena ia mengajakku untuk mendaki
gunung. Padahal Ayah tahu aku tidak suka mendaki gunung. Ayah tersenyum sambil
mengemasi barang-barangnya untuk persiapan mendaki gunung. Ia tidak pernah
berkata selain tersenyum, seolah dia memang tidak pernah memahamiku sebagai
perempuan. Mataku sembab, akibat menangis semalam. Dan aku terdiam, tiba-tiba
perasaan senang muncul, karena aku tidak akan melakukan kegiatan di rumah yang
menyebalkan itu jika aku ikut mendaki gunung.
Klimaks
:
Kami pun berangkat
untuk mendaki gunung. Jalan di sana sangat terjal, becek dan berliku. Banyak
nyamuk-nyamuk liar yang menyerangku, dan badanku sudah lengket oleh keringat.
Hanya lampu penerang di tanganku yang dapat membantuku untuk meniti batu-batu
licin. Seketika saja Ayah mengajakku untuk meneruskan perjalanan untuk mencapai
puncak. Aku sendiri sudah sangat tidak betah, namun demi janji Ayah, aku rela
melakukan semua ini.Aku dan Ayah berada di jalan yang datar di tepi jurang. Aku
tidak dapat memastikan ada apa di bawah jurang itu. aku hanya bisa menangkap
suara air mendidih dan bau belerang. Aku dan Ayah duduk di sebuah batu besar,
kesempatan ini tidak aku sia-siakan untuk menenggak air mineral. Perlahan
matahari terbit dari sebelah timur. Aku tidak pernah menyaksikan matahari
terbit dari puncak gunung, sungguh ini adalah sebuah pemandangan yang indah.
Seketika saja, Ayah bertanya “Apa kamu masih ingat segala keluhanmu kepada
Ayah?” Aku bertanya maksud dari pertanyaan itu.
Comments