Si Kembar Siam Raih Gelar Sarjana Dokter
Kisah Nyata sepasang anak kembar dari Tanjung Pinang, Kepulauan Riau yang kini meraih gelar sarjana dokter.
Jika dilihat sekilas, Yuliana dan Yuliani (24 tahun) hanyalah kembar biasa. takkan ada yang mengira mereka kembar siam di kepala pertama di Indonesia yang sukses menjalani operasi pemisahan. Kini keduanya sudah menginjak usia dewasa dan menyandang gelas sarjana dari jurusan masing-masing. Bagaimana melewati peristiwa dramatis itu ?
Hartini (46), sudah menyangka saat kehamilan keduanya, 25 tahun silam akan melahirkan anak kembar. Maklum, tak seperti kehamilan umumnya, perutnya begitu membesar dan amat menonjol. Para tetangga juga menduga dia akan melahirkan anak kembar. Apalagi, dalam keluarganya juga tak asing dengan anak kembar.
Benar saja, 31 Juli 1987 di kampung halamannya Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Hartini melahirkan sepasang putri kembar. Ia dan suaminya Tularji (50), amat bersukacita menyambut kelahiran itu. Sayang harapan tak sesuai kenyataan. Meski benar terkahir kembar, tetapi keduanya menyatu (dempet) atau kembar siam di bagian kepala (craniopagus).
Kondisi itu tentu saja membuat keduanya terpukul. Kasus kelahiran kembar siam tersebut termasuk kejadian langka. Satu-satunya cara untuk memperbaiki kondisi tersebut, kedua putri kecilnya itu harus menjalani operasi pemisahan. Kekhawatiran tetap saja berkecamuk di hati Hartini. Sebab, dari informasi yang dia dapat, operasi yang semacam itu belum pernah berhasil di Indonesia, apalagi kedua bayi dempet di bagian kepala. Jelas sulit sekali proses pemisahannya.
Karena peralatan untuk menjalani operasi tidak memadai di RSUD Tanjung Pinang, kedua putrinya yang diberi nama Pristian Yuliana dan Pristian Yuliani, itupun dirujuk ke RSCM Jakarta. Dibawah koordinasi Prof. Dr. RM Padmosantjojo, akhirnya, pada 21 Oktober 1987, dilakukan operasi pemisahan yang melibatkan 96 dokter, memakan waktu 13 jam, serta menelan sedikitnya Rp 42 Juta. Saat itu usia Yuliana dan Yuliani baru 2 bulan 21 hari.
Melibatkan seluruh tim dokter dari berbagai disiplin ilmu operasi pemisahan kembar siam di kepala itu sukses untuk pertama kalinya di Indonesia. Sebelumnya operasi pemisahan kembar siam, jarang berhasil. Biasanya hanya salah satu dari anak kembar yang bisa diselamatkan.
Keberhasilan operasi Ana dan Ani, menunjukkan kemampuan dokter-dokter di Indonesia kala itu sudah setara dengan ahli medis mancanegara.
"Dokter Padmo jadi inspirasi saya. keberhasilannya dan tim dokter memisahkan kami, membuat kami bercita-cita menjadi dokter." Kata Ani. ketika ditemui di kediamannya, jalan Jati IV, Padang. Rabu (13/3) lalu.
Ia menyebut baru mengetahui dirinya dan Ana kembar siam ketika sudah menginjak remaja. "Sebelumnya hanya tahu kembar biasa saja. Tidak menyangka kalau kami kembar siam." katanya.
Tak banyak teman-temannya yang tahu jika keduanya adalah kembar siam. Tanda-tanda keduanya kembar siam memang tidak tampak sama sekali. Mereka tak ubahnya kembar kebanyakan.
"Bekas operasinya memang masih ada di kepala. Tetapi tertutupi rambut. Jadi dari luar tidak tampak sma sekali." Kata Ani, dokter muda di RSUP Dr. M Djamil, Padang itu.
BERCITA-CITA JADI DOKTER
Dekat dengan kalangan dokter, karena harus terus diperhatikan untuk memastikan hasil operasi mereka tetap berjalan baik, tanpa disadari Ana dan Ani memimpikan suatu saat kelak bisa menjadi dokter. Bagi mereka, dokter telah berperan besar menjaga kehidupan mereka.
"Benar semuanya bergantung takdir Tuhan, tetapi keselamatan itu datang melalui peran dokter." Ujarnya.
Makannya mereka menilai menjadi dokter adalah profesi yang luar biasa. Yang berperan besar membantu menyembuhkan berbagai macam penyakit dan menyelamatkan nyawa manusia.
Karena itu saat masih sekolah di kampung halamannya Tanjung Pinang, mereka tidak segan menyebut "Dokter" sebagai profesi yang mereka cita-citanya. Impian itu tidak asal omong. Dukungan orang tua, serta dokter Padmo sendiri yang sudah mereka anggap sebagai orang tua yang selalu memberi suport dan dorongan, bahwa menjadi dokter adalah pekerjaan mulia.
"Pak De (sebutan mereka untuk Dr. Padmo-Red) selalu mendorong kami untuk jadi dokter." Kata Ani.
Dorongan itu terus menjadi motivasi mereka dalam belajar hingga menamatkan sekolah di SD Katolik Tanjung Pinang, SMP Negeri 1 Tanjung Pinang, dan SMA Katolik Santa Maria Tanjung Pinang. Hingga melanjutka pendidikan di perguruan tinggi.
"Pak De menyarankan kami masuk Universitas Andalas (Unand). Karena di Sumatera kedokteran Unand terkenal bagus." Katanya lagi.
Tak hanya memberikan dorongan, Dr. Padmo juga mengenalkan kedua anak kembar itu kepada Dr. Kamardi Talut di Padang yang juga seorang dokter bedah dan guru besar di Fakultas Kedokteran (FK) Unand. Selama kuliah di Unand, keduanya tinggal di rumah keluarga Dr. Kamardi.
KEMBAR TAK SELALU SAMA
Menjadi anak kembar merupakan kebanggaan sendiri bagi mereka.
"Meski berdua, kami merasa satu. Ana dan Ani itu bagi saya ya satu saja." kata Ani lagi.
Itu sebabnya sebagai kembar mereka memang saling sama rasa satu dengan yang lain. Dalam hal berpakaian misalnya, mereka selalu menggunakan pakaian yang sama. Termasuk dalam memilih aksesoris dan tatanan rambut. Tentu saja hal ini membuat orang jadi kesulitan membedakan keduanya.
Hal itu berlangsung terus sampai mereka besar. Sampai-sampai kedua orang tua mereka meminta Ana dan Ani mencari identitas masing-masing.
"Kami diminta jangan semuanya mau sama terus. Harus menemukan identitas masing-masing." sebut Ani, mengenai pesan Ayahnya.
Untuk menemukan identitas masing-masing ini, pernah suatu hari mereka janjian belanja baju di mol sendiri-sendiri. Dan baru bertemu di kasir pembayaran.
Mulailah mereka dengan keinginan untuk menemukan identitas masing-masing memilah-milah pakaian yang akan dibeli. Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam, mereka berjumpa di kasir pembayaran dengan membawa belanjaan masing-masing.
"Lucunya, waktu kami periksa belanjaan maisng-masing, eh, baju yang kami pilih ternyata sama." ceritanya tanpa dapat menahan tawa mengenang kejadian lucu tersebut. Akhirnya mereka pun menerima keadaan mereka yang tidak mungkin dipisahkan.
"Setelah kejadian itu, akhirnya kami pun menerima kondisi kami apa adanya. Memang dari sononya kembar, ya mau diapain lagi." imbuh Ani.
Kini mereka tidak lagi berusaha mencari-cari apa yang menjadi identitas masing-masing. Toh, pada saatnya nanti, waktu akan membawa mereka pada jawaban dari pencarian itu. Meski kembar, yang identik dengan kesukaan yang sama, mereka tetap memiliki perbedaan. Perbedaan yang mendasar yang mereka rasakan adalah dalam karakter.
"Kalo aku orangnya simpel, agak usil, lebih berani, dan agak nakal. Beda banget sama kembaranku. Ana orangnya pendiam, sifatnya keibuan, lembut, dan kalo ngomong bahasa tinggi, penuh analisis, jadi nampak cerdasnya." kata Ani sembari tertawa. satu lagi yang menjadi pembeda antara keduanya adalah soal selera pada lawan jenis. Meskipun kembar, mereka memiliki tipe pria idaman yang tidak sama. Ani mengaku tidak terlalu mempersoalkan penampilan cowok. Ia lebih menyukai pria apa adanya. Sementara Ana lebih menyukai lelaki yang berpenampilan rapi layaknya eksekutif muda namun ketika ditanya apaka mereka telah punya calon pendamping hidup, keduanya tidak memberikan komentar.
BERHASIL DALAM PENDIDIKAN
Impian keduanya untuk sama-sama menjadi dokter memang tidak terwujud. Tetapi, berkat motivasi yang mereka dapatkan dari orang tua, lingkungan dan tim dokter yang melakukan operasi pemisahan saat mereka kecil dahulu, keduanya tetap bisa sukses menjalani dunia pendidikan.
Setelah menamatkan pendidikan di SMA di Tanjung Pinang, mereka bertekad mengejar cita-cita menjadi dokter di Universitas Andalas (Unand) Padang. Seperti calon mahasiswa umumnya, mereka mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) 2007 di Padang.
Sayang, hanya Ani yang berhasil lolos di Kedokeran. Sedangkan Ana yang gagal di pilihan pertamanya untuk jurusan kedokteran, akhirnya mengambil pilihan kedua yaitu Jurusan Nutrisi dan Makanan di Fakultas Peternakan (Faterna) Uanad. Tahun lalu, Ana telah di wisuda dan kini tengah melanjutkan pendidikan S2 di Jurusan Ilmu Nutrisi, Institut Pertanian Bogor (IPB). Sementara, Ani juga telah menyelesaikan S1 di Fakultas Kedokteran dan kini tengah menjalani co-as atau dokter muda di RSUP Dr. M Djamil, Padang.
Mereka mengaku peran orang tua dan dukungan orang-orang di sekitar mereka memudahkan keduanya menyelesaikan pendidikan.
"Intinya semangat dan motivasi. Sampai sekarang Pak De terus memberi motivasi agar apa yang kami cita-citakan tercapai. Serta bisa membuat banyak untuk masyarakat di kemudian hari." Paparnya. Termasuk. tentu saja dukungan moril yang tak henti - henti datang dari kedua orang tua mereka di Tanjung Pinang sana.
Mereka merasa telah diselamatkan oleh Prof. Padmosantjojo beserta timnya yang telah berperan besar membuat kehidupan mereka kini berubah demikian pesat.
"Kenyataannya memang demikian. Jadi kami harus membuat mereka bangga." Ujar Ani.
Untuk itu keduanya bertejad berprestasi dan menyelesaikan study dengan cepat. Dan terbukti mereka memang mampu menjalankannya dengan baik, dan membuat bangga orang tua, serta orang - orang dekat mereka. Termasuk keluarga Prof. Kamardi Talut yang menjadi orang tua asuh mereka di Padang.
Dalam waktu sekitar 4 tahun, Ana dan Ani telah berhasil menggondol gelar sarjana. Kini Ana tengah menjalani program master di IPB. Saat di hubungi KARTINI, Ana mengakui hari-harinya disibuki persiapan penelitian dan ia berencana akan meneruskan pendidikannya hingga jenjang S3. Sementara Ani kini menjalani co-as, sebagai tahapan untuk meraih predikat dokter. Keduanya bertekad, dengan ilmu yang mereka miliki kelak bisa berbuat banyak untuk masyarakat Indonesia. Semoga. (Heri Faisal)
Jika dilihat sekilas, Yuliana dan Yuliani (24 tahun) hanyalah kembar biasa. takkan ada yang mengira mereka kembar siam di kepala pertama di Indonesia yang sukses menjalani operasi pemisahan. Kini keduanya sudah menginjak usia dewasa dan menyandang gelas sarjana dari jurusan masing-masing. Bagaimana melewati peristiwa dramatis itu ?
Hartini (46), sudah menyangka saat kehamilan keduanya, 25 tahun silam akan melahirkan anak kembar. Maklum, tak seperti kehamilan umumnya, perutnya begitu membesar dan amat menonjol. Para tetangga juga menduga dia akan melahirkan anak kembar. Apalagi, dalam keluarganya juga tak asing dengan anak kembar.
Benar saja, 31 Juli 1987 di kampung halamannya Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Hartini melahirkan sepasang putri kembar. Ia dan suaminya Tularji (50), amat bersukacita menyambut kelahiran itu. Sayang harapan tak sesuai kenyataan. Meski benar terkahir kembar, tetapi keduanya menyatu (dempet) atau kembar siam di bagian kepala (craniopagus).
Kondisi itu tentu saja membuat keduanya terpukul. Kasus kelahiran kembar siam tersebut termasuk kejadian langka. Satu-satunya cara untuk memperbaiki kondisi tersebut, kedua putri kecilnya itu harus menjalani operasi pemisahan. Kekhawatiran tetap saja berkecamuk di hati Hartini. Sebab, dari informasi yang dia dapat, operasi yang semacam itu belum pernah berhasil di Indonesia, apalagi kedua bayi dempet di bagian kepala. Jelas sulit sekali proses pemisahannya.
Karena peralatan untuk menjalani operasi tidak memadai di RSUD Tanjung Pinang, kedua putrinya yang diberi nama Pristian Yuliana dan Pristian Yuliani, itupun dirujuk ke RSCM Jakarta. Dibawah koordinasi Prof. Dr. RM Padmosantjojo, akhirnya, pada 21 Oktober 1987, dilakukan operasi pemisahan yang melibatkan 96 dokter, memakan waktu 13 jam, serta menelan sedikitnya Rp 42 Juta. Saat itu usia Yuliana dan Yuliani baru 2 bulan 21 hari.
Melibatkan seluruh tim dokter dari berbagai disiplin ilmu operasi pemisahan kembar siam di kepala itu sukses untuk pertama kalinya di Indonesia. Sebelumnya operasi pemisahan kembar siam, jarang berhasil. Biasanya hanya salah satu dari anak kembar yang bisa diselamatkan.
Keberhasilan operasi Ana dan Ani, menunjukkan kemampuan dokter-dokter di Indonesia kala itu sudah setara dengan ahli medis mancanegara.
"Dokter Padmo jadi inspirasi saya. keberhasilannya dan tim dokter memisahkan kami, membuat kami bercita-cita menjadi dokter." Kata Ani. ketika ditemui di kediamannya, jalan Jati IV, Padang. Rabu (13/3) lalu.
Ia menyebut baru mengetahui dirinya dan Ana kembar siam ketika sudah menginjak remaja. "Sebelumnya hanya tahu kembar biasa saja. Tidak menyangka kalau kami kembar siam." katanya.
Tak banyak teman-temannya yang tahu jika keduanya adalah kembar siam. Tanda-tanda keduanya kembar siam memang tidak tampak sama sekali. Mereka tak ubahnya kembar kebanyakan.
"Bekas operasinya memang masih ada di kepala. Tetapi tertutupi rambut. Jadi dari luar tidak tampak sma sekali." Kata Ani, dokter muda di RSUP Dr. M Djamil, Padang itu.
BERCITA-CITA JADI DOKTER
Dekat dengan kalangan dokter, karena harus terus diperhatikan untuk memastikan hasil operasi mereka tetap berjalan baik, tanpa disadari Ana dan Ani memimpikan suatu saat kelak bisa menjadi dokter. Bagi mereka, dokter telah berperan besar menjaga kehidupan mereka.
"Benar semuanya bergantung takdir Tuhan, tetapi keselamatan itu datang melalui peran dokter." Ujarnya.
Makannya mereka menilai menjadi dokter adalah profesi yang luar biasa. Yang berperan besar membantu menyembuhkan berbagai macam penyakit dan menyelamatkan nyawa manusia.
Karena itu saat masih sekolah di kampung halamannya Tanjung Pinang, mereka tidak segan menyebut "Dokter" sebagai profesi yang mereka cita-citanya. Impian itu tidak asal omong. Dukungan orang tua, serta dokter Padmo sendiri yang sudah mereka anggap sebagai orang tua yang selalu memberi suport dan dorongan, bahwa menjadi dokter adalah pekerjaan mulia.
"Pak De (sebutan mereka untuk Dr. Padmo-Red) selalu mendorong kami untuk jadi dokter." Kata Ani.
Dorongan itu terus menjadi motivasi mereka dalam belajar hingga menamatkan sekolah di SD Katolik Tanjung Pinang, SMP Negeri 1 Tanjung Pinang, dan SMA Katolik Santa Maria Tanjung Pinang. Hingga melanjutka pendidikan di perguruan tinggi.
"Pak De menyarankan kami masuk Universitas Andalas (Unand). Karena di Sumatera kedokteran Unand terkenal bagus." Katanya lagi.
Tak hanya memberikan dorongan, Dr. Padmo juga mengenalkan kedua anak kembar itu kepada Dr. Kamardi Talut di Padang yang juga seorang dokter bedah dan guru besar di Fakultas Kedokteran (FK) Unand. Selama kuliah di Unand, keduanya tinggal di rumah keluarga Dr. Kamardi.
KEMBAR TAK SELALU SAMA
Menjadi anak kembar merupakan kebanggaan sendiri bagi mereka.
"Meski berdua, kami merasa satu. Ana dan Ani itu bagi saya ya satu saja." kata Ani lagi.
Itu sebabnya sebagai kembar mereka memang saling sama rasa satu dengan yang lain. Dalam hal berpakaian misalnya, mereka selalu menggunakan pakaian yang sama. Termasuk dalam memilih aksesoris dan tatanan rambut. Tentu saja hal ini membuat orang jadi kesulitan membedakan keduanya.
Hal itu berlangsung terus sampai mereka besar. Sampai-sampai kedua orang tua mereka meminta Ana dan Ani mencari identitas masing-masing.
"Kami diminta jangan semuanya mau sama terus. Harus menemukan identitas masing-masing." sebut Ani, mengenai pesan Ayahnya.
Untuk menemukan identitas masing-masing ini, pernah suatu hari mereka janjian belanja baju di mol sendiri-sendiri. Dan baru bertemu di kasir pembayaran.
Mulailah mereka dengan keinginan untuk menemukan identitas masing-masing memilah-milah pakaian yang akan dibeli. Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam, mereka berjumpa di kasir pembayaran dengan membawa belanjaan masing-masing.
"Lucunya, waktu kami periksa belanjaan maisng-masing, eh, baju yang kami pilih ternyata sama." ceritanya tanpa dapat menahan tawa mengenang kejadian lucu tersebut. Akhirnya mereka pun menerima keadaan mereka yang tidak mungkin dipisahkan.
"Setelah kejadian itu, akhirnya kami pun menerima kondisi kami apa adanya. Memang dari sononya kembar, ya mau diapain lagi." imbuh Ani.
Kini mereka tidak lagi berusaha mencari-cari apa yang menjadi identitas masing-masing. Toh, pada saatnya nanti, waktu akan membawa mereka pada jawaban dari pencarian itu. Meski kembar, yang identik dengan kesukaan yang sama, mereka tetap memiliki perbedaan. Perbedaan yang mendasar yang mereka rasakan adalah dalam karakter.
"Kalo aku orangnya simpel, agak usil, lebih berani, dan agak nakal. Beda banget sama kembaranku. Ana orangnya pendiam, sifatnya keibuan, lembut, dan kalo ngomong bahasa tinggi, penuh analisis, jadi nampak cerdasnya." kata Ani sembari tertawa. satu lagi yang menjadi pembeda antara keduanya adalah soal selera pada lawan jenis. Meskipun kembar, mereka memiliki tipe pria idaman yang tidak sama. Ani mengaku tidak terlalu mempersoalkan penampilan cowok. Ia lebih menyukai pria apa adanya. Sementara Ana lebih menyukai lelaki yang berpenampilan rapi layaknya eksekutif muda namun ketika ditanya apaka mereka telah punya calon pendamping hidup, keduanya tidak memberikan komentar.
BERHASIL DALAM PENDIDIKAN
Impian keduanya untuk sama-sama menjadi dokter memang tidak terwujud. Tetapi, berkat motivasi yang mereka dapatkan dari orang tua, lingkungan dan tim dokter yang melakukan operasi pemisahan saat mereka kecil dahulu, keduanya tetap bisa sukses menjalani dunia pendidikan.
Setelah menamatkan pendidikan di SMA di Tanjung Pinang, mereka bertekad mengejar cita-cita menjadi dokter di Universitas Andalas (Unand) Padang. Seperti calon mahasiswa umumnya, mereka mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) 2007 di Padang.
Sayang, hanya Ani yang berhasil lolos di Kedokeran. Sedangkan Ana yang gagal di pilihan pertamanya untuk jurusan kedokteran, akhirnya mengambil pilihan kedua yaitu Jurusan Nutrisi dan Makanan di Fakultas Peternakan (Faterna) Uanad. Tahun lalu, Ana telah di wisuda dan kini tengah melanjutkan pendidikan S2 di Jurusan Ilmu Nutrisi, Institut Pertanian Bogor (IPB). Sementara, Ani juga telah menyelesaikan S1 di Fakultas Kedokteran dan kini tengah menjalani co-as atau dokter muda di RSUP Dr. M Djamil, Padang.
Mereka mengaku peran orang tua dan dukungan orang-orang di sekitar mereka memudahkan keduanya menyelesaikan pendidikan.
"Intinya semangat dan motivasi. Sampai sekarang Pak De terus memberi motivasi agar apa yang kami cita-citakan tercapai. Serta bisa membuat banyak untuk masyarakat di kemudian hari." Paparnya. Termasuk. tentu saja dukungan moril yang tak henti - henti datang dari kedua orang tua mereka di Tanjung Pinang sana.
Mereka merasa telah diselamatkan oleh Prof. Padmosantjojo beserta timnya yang telah berperan besar membuat kehidupan mereka kini berubah demikian pesat.
"Kenyataannya memang demikian. Jadi kami harus membuat mereka bangga." Ujar Ani.
Untuk itu keduanya bertejad berprestasi dan menyelesaikan study dengan cepat. Dan terbukti mereka memang mampu menjalankannya dengan baik, dan membuat bangga orang tua, serta orang - orang dekat mereka. Termasuk keluarga Prof. Kamardi Talut yang menjadi orang tua asuh mereka di Padang.
Dalam waktu sekitar 4 tahun, Ana dan Ani telah berhasil menggondol gelar sarjana. Kini Ana tengah menjalani program master di IPB. Saat di hubungi KARTINI, Ana mengakui hari-harinya disibuki persiapan penelitian dan ia berencana akan meneruskan pendidikannya hingga jenjang S3. Sementara Ani kini menjalani co-as, sebagai tahapan untuk meraih predikat dokter. Keduanya bertekad, dengan ilmu yang mereka miliki kelak bisa berbuat banyak untuk masyarakat Indonesia. Semoga. (Heri Faisal)
Comments