Di Balik Harapan
Oleh : Tia Dyan Wilujeng
Suasana pagi, begitu menyeruak.
Aroma sejuknya pagi begitu mendalam. Harum khas parfum tebu menusuk rongga
indra penciumanku. Di sela-sela tubuh para lelaki dan buruh tani, sepasang kaki
kecil nan langsing berjalan sangat
tertatih. Sepasang sandal jepit butut berwarna ungu memudar. Ujung celana
panjang yang kumuh berwarna hijau muda dilipat ke atas dengkul, untuk memudahkanku melangkah diantara tumpukan tebu-tebu
yang siap diangkat. Langkah demi langkah bergiliran berlalu. Derap langkah yang
begitu menyimpan harapan. Kemeja lengan panjangku basah oleh keringat. Sebuah
jarik lurus memberi motif kotak berwarna biru tua tersampir di bahu.

Aku
membungkukkan badanku. Kedua tanganku telah memeluk seikat tebu. Seluruh tenaga
yang aku simpan pada shubuh tadi, aku serahkan untuk mengangkat seikat tebu
itu. Ikatan tebu itu pun telah berpindah pada ranjang di belakang punggungku.
Kereta tebu dari pabrik telah menunggu. Rangkaian kereta itu terlihat begitu
kokoh. Delapan kereta terangkai menjadi ekor memanjang dari sebuah gerbong
bercerobong yang mengeluarkan asap dan suara mendesis. Belasan balok telah
terhempaskan oleh ampas tebu yang sudah dipadatkan dan tersusun rapi di bagian
belakang gerbong. Bau khas tebu itu menebarkan bau wangi nan menusuk rongga
penciuman.
Deretan
para buruh tani tebu membawa masing-masing ikatannya. Dengan dipanggul di atas
kepala, disandang di bahu, digendong di belakang punggung. Dengan tertib. Satu
demi satu menyerahkan ikatan itu kepada dua orang lelaki dewasa. Aku memang
sangat kecil. Seikat tebu saja, mungkin
belum cukup untuk membuat Ibu bahagia. Semua itu sungguh mustahil. Dengan
lapang dada, aku serahkan ikatan tebu itu. Kedua tanganku terulur tinggi-tinggi
dan lelaki dewasa itu yang bernama Jakhfri melemparkan ikatan itu diantara tumpukan
tebu.
Aku
menyeka begitu piluhnya aku, sebuah sayatan memanjang di telapak tangan
kananku, aku sentuh perlahan. Perih. Perih sekali rasanya. Semua ini karena aku
kurang hati-hati saat mengangkat seikat tebu itu. Teriakan Ibu dari jauh
mengalihkan perhatianku. Aku sangat terkejut melihat kedatangan Ibu yang
tiba-tiba. Setahuku Ibu sedang sakit di rumah. Kakinya tak bisa digerakkan
tiba-tiba. Aku menyuruhnya untuk istirahat saja di rumah. Ibu melambaikan
tangan, bertanda ia memanggilku. Ternyata Ibu membawa makanan untukku. Aku
berlari kecil menuju lambaian tangan Ibu.
“Nak,
Ibu bosan di rumah. Dan Ibu tahu, perutmu pasti keroncongan. Makanlah dengan
para buruh tani yang lain, Nak.” Kata Ibu yang sedang mengelus rambutku. Ibu
benar. Perutku sedari tadi memang keroncongan. Di pinggir persawahan tebu yang
telah dibabat habis itu, di atas tumpukan daun-daun tebu yang sudah hampir mengering.
Aku, Ibuku, dan beberapa para buruh tani, yang tak lain adalah teman terdekatku
semua sedang asyik menikmati makan siang mereka. Aku pun sudah tak sabar untuk
melahap masakan Ibuku. Pasti sedap. Tak ada lagi yang perlu dihiraukan oleh
masakan Ibuku. Saat aku membuka bungkusan daun jati, aroma nasi hangat mengepul
dari dalamnya, bercampur aroma daun jati dan tempe goreng, serta kulupan pedas,
membuat lidahku berdecak-decak ingin segera mengantapnya.
“Enak
tenan baunya Nur.” Komentar
teman buruhku. Kebanyakan para orang dewasa. Aku memang yang paling muda dan
kecil di sini.
***
Ayahku
bilang “Ada sesuatu yang lebih berharga daripada harta, kebahagiaan dan
segala-galanya. Orang yang menyayangi kitalah yang paling berharga.” Tapi,
akankah aku sebagai anak tunggalnya menjadi yang paling berharga untuknya dari
segala-galanya? Ku harap ‘IYA’. Aku rindu Ayah. Semoga Ayah senang dan tenang
di sana. Aku janji Ayah, Rita akan membahagiakan Ibu di sini. Tersenyumlah
Ayah. Kalimat terakhir dari Ayah, akan Rita simpan segenap jiwa dan ragaku,
Ayah. Senyum yang Ayah berikan setiap malam, selalu aku mimpikan.
Kata-kata
itu. Kata-kata Ayah. Kata-kata dari mulut yang sudah begitu keriput. Selalu
terngiang di pikiranku, kata demi kata itu menjadi kalimat yang sungguh
bermakna dalam duniaku. Kalimat itu memberikan semangat hidup, semangat
mencapai harapan yang kuinginkan. Harapan itu, mungkin sangat mustahil bagi
hidupku yang seperti ini. Tapi aku percaya, kasih sayang Allah SWT selalu ada
untuk umat-Nya yang selalu tabah, mukzizat akan datang dengan sendirinya, tanpa
kita sadari.
“Hati-hati.”
Suara lembut itu membuatku mendongak, membubarkan lamunanku. Senyum manis dari
bibirnya terukir sempurna. Dan aku membalas senyumannya.
“Ibu
mengagetkan Rita saja.”
“Nak,
kamu sedang melamun ya? Tuuuh, lihat. Tanganmu hampir saja teriris pisau.”
“Oh.
Astagfirllah. Maaf Bu, Rita sudah membuat Ibu khawatir.”
“Yaa,
tak apa, Nak. Apa yang sedang kamu lamunkan? Ceritalah pada Ibu.”
“HARAPAN,
BU.”
“Harapan?”
“Iya,
Bu. Rita berharap menjadi dokter di saat Rita dewasa nanti. Rita ingin
ngebahagiain Ibu. Apakah, Rita terlalu berharap tinggi, Bu?”
“Tidak,
Nak. Berharap tinggi itu sangat baik dan wajar. Tetapi, bukannya Ibu tidak mau
kamu terlalu berharap tinggi. Karena Ibu tahu, anak seusia kamu masih
berpikiran labil, dan Ibu tidak mau kamu menyesal di akhir cerita hidupmu.
Karena berharap tinggi itu sama saja dengan berpikir terlalu dalam di dunia
khayalmu. Karena terkadang kita bisa dikhianati oleh pikiran dan hati kita.
Sama dengan masa cinta di saat remaja. Hanyalah kita harus percaya pada takdir
yang diberikan oleh Allah SWT, Nak. Dan jika itu yang kamu harapkan, kejarlah
angan-angan harapan itu. Gapailah sinar harapan itu. Jadikan prinsip hidupmu.
Dan maafkan Ibu ya, Nak.”
“Maaf?
Kenapa Ibu harus meminta maaf? Justru, Ibu telah mengajarkan aku tentang mimpi
dan cita-cita.”
“Karena
Ibu sangat menyesal, Nak? Ibu tak mau, kamu seperti jalan hidup Ibu yang
akhirnya menyesal di akhir cerita.”
“Menyesal?
Menyesal bagaimana maksud Ibu?”
“Iya,
Nak. Menyesal. Karena dulu Ibu memutuskan untuk putus sekolah SMP, karena Ibu
sudah tidak kuat, Nak. Dan Ibu juga tak mau, kamu putus sekolah seperti Ibu
saat dulu. Jangan tirukan Ibu. Ibu tak pantas menjadi Ibumu Nak, Ibu bukan
seorang teladan yang dapat dicontohkan oleh anaknya.”
“Sssst….
Ibu bicara apa ah? Tidak, Ibu. Ibu adalah anugerahku yang telah diberikan oleh Allah
SWT. Ibu tetap menjadi permata hidupku. Memandang orang tak perlu melihat masa
lalunya, Bu, tapi lihatlah perubahan yang sudah menjadikan karakter yang lebih
baik untuk masa kedepannya.”
“Terimakasih,
Nak. Kamu memang cahaya hidup Ibu. Perjuangkanlah harapanmu itu. Ibu akan
mendoakanmu yang terbaik. Jangan pernah putus asa, Nak. Jangan pernah minder di
dunia persainganmu. Yakinkanlah pada jiwa percaya dirimu. Kita tidak hanya
seorang buruh tani tebu, Nak. Kita sama dengan yang lain. Tunjukkan pada dunia,
bahwa seorang anak pekerja buruh tani tebu, bisa menjadi dokter yang sukses.” Ibu
mengelus rambutku, serta merta mengelus tetesan air mata yang telah mengucur di
pipiku. Ibu memelukku dengan hangat dan mesra. Mengelus pundakku dengan lembut.
Rambutnya yang harum telah merasuk tulang hidungku.
***
Bel
berbunyi begitu nyaring di telingaku. Bertanda jam pertama telah dimulai. ku
dapatkan pandangan yang tak asing lagi bagiku. Mereka semua yang tak lain
adalah teman sebayaku, memandangku dengan jijik dan menutup hidung mereka
masing, tatapan mata mereka yang begitu sinis dihadapanku dan sedikit menjauh
dariku agar tidak terkena tubuhku. Tetapi aku tak pernah peduli. Semakin lama
mereka memandang, semakin mereka menertawakan aku. Mereka tertawa dengan keras
dan merasa puas. Satu suara dari mereka pun muncul . terdengar begitu parau di
telinga kiriku.
“Haiiiii…
kamseupay. Anak kismin. Loe tuh gak pantas sekolah. Loe itu sampah. Lihat tuh
baju loe yang kumuh, bau busuk kayak sampah, sama kayak muka loe. Nyadar nggak
loe? Loe itu seharusnya sekolah di kolong jembatan sana. Pantas buat loe. Kalau
di sini… boleh aja siiih… tapi kasian dong temen gue kalau misalnya kena virus
upay kayak loe.” Dia menjambak rambutku yang panjang telah terurai. Namun, ku
hanya bisa diam. Ku teringat apa kata Ibu. “Jangan
pernah putus asa, Nak. Jangan pernah minder di dunia persainganmu. Yakinkanlah
pada jiwa percaya dirimu. Kita tidak hanya seorang buruh tani tebu, Nak. Kita
sama dengan yang lain.” Dan percuma juga bila mengurusi anak seperti dia,
yang biasa disapa ‘Tika’. Tika memang anak blagu, sombong, ia juga menganggap
dirinya merasa sempurna diantara yang lain, dan suka merendahkan harga diri
orang yang dibawahnya. Tiba-tiba Tika menarik krah leher seragamku.
“EH!
Loe bego’ ya? Atau loe emang budek? HAH! Loe itu emang BODOH! LOE ITU SAMPAH!”
Tiba-tiba ia terhenti dan melepaskan tangannya dari krah leherku. Saatku
menangkap pandangan matanya, ternyata ia melihat sosok istimewa di matanya.
Sosok itu bernama Andhi, anak basket yang keren habis, dan SO dia gokil and
kece banget. Semua cewek di sekolah ini telah tergiur dengan penampilannya dan
cara ia berjalan.
“Hai
ganteng. Kita ngobrol bareng yukk.” Tangan Tika menyelimuti lengan Andhi,
seakan-akan ia akrab dengan Andhi di depanku, namun aku tahu pasti, mereka
belum saling kenal. Aku hanya tertawa kecil dalam hati lihat perlakuan temanku
yang satu ini. Namun, Andhi melepaskannya. Tika terkikuk diam. Tertawaku
semakin menjadi di dalam hati, namun kutahan.
“Apa-apaan
sih loe. Jijik gue sama loe. Loe nggak usah ganjen and kecentilan di depan gue.
Percuma. Nggak bakal ngaruh buat gue. Ngaruh tuh buat orang gila. Ngerti loe?
Dan gue lihat apa yang loe lakuin ke Rita. Cewek brengsek loe.”
“What?
Kok loe jijik ke gue sih, seharusnya loe jijiknya sama dia tuuh. Dia kan
sampah. Enak ajak gue loe katain brengsek. Dia tuuh yang brengsek. Loe kok
belain dia sih? Loe itu nggak sopan tau nggak sama cewek.”
“Justru
gue bela yang gue anggap bener. Dan justru loe yang nggak sopan. Pergi loe dari
sini. Dan gue ingetin loe ya, loe jangan pernah ganggu dia lagi. Sampai loe
gangguin dia, loe berurusan sama gue.” Tika terkikuk diam. Mulut kecilnya
berkomat-kamit tak menentu. Namun, akhirnya ia pergi juga dari hadapanku dan
Andhi.
“Loe
nggak papa kan? Lagipula loe ngapain sih diam aja. Cewek kayak dia tuh nggak
pantas didiemin kayak tadi. Bisa ngerocos terus tuh mulut. Seharusnya kamu
saing mulut sama dia. Kenapa loe malah diem kayak tadi?” Tanyanya kepadaku.
“Hahaha.
Nggak kok. Aku nggak papa. Ngapain juga saing mulut sama orang yang nggak
penting, iya kalau ada lomba debat, baru boleh saing mulut. Lha ini… saing
mulut nggak ada gunanya. Percuma dong. Oh ya, makasih.”
“It’s
oke. No problem. Sama-sama.”
***
Dengan
seiringnya waktu. Hari demi hari terlewatkan. Bulan demi bulan telah berlalu.
Tahun demi tahun telah meninggalkan sebuah kisah yang menjadikan sebuah masa
lalu. Semakin tambah usia, penyakit Ibu semakin parah. Sejak setahun silam yang
lalu, Ibu periksa ke dokter, dan kata dokter, Ibu terkena struck. Hatiku
bagaikan ditusuk oleh pisau, tertikam oleh dada yang membungkam. Aku sudah tak
tahan lagi melihat keadaan Ibu yang begitu rapuh. Penyakit itu menggerogoti
setengah jiwa Ibu. Tetapi aku tak pernah menyerah. Di sisi lain, aku juga tak
mampu membawa Ibu berobat dan mengantarkan Ibu rawat inap di Rumah Sakit. Gaji
sebagai buruh tani tebu saja sudah bersyukur diberi kecukupan masih bisa makan
dan beli obat seadanya.
Pagi,
aku berangkat sekolah. Siang aku belajar di rumah sendiri. Sore, aku baru bekerja
hingga malam adzan maghrib berkumandang. Malam pun, aku menjaga dan merawat Ibu
dengan disampingi belajar. Tak akan aku biarkan Ibu jatuh begitu saja tanpa aku
yang menompang dan memapahnya. Biarlah tangan ini saja yang selalu ada buatnya.
Setiap harinya ku selalu melakukan kegiatan rutin itu. Namun, aku tersadar
diri. Penyakit struck yang Ibu alami sungguh menyakitkan. Setiap malam aku
selalu menangis, sholat malam saat Ibu telah terlelap dengan dinginnya malam
dan sejuknya hawa malam di musim penghujan. Setiap tengah malam, tangan ini
selalu memapahnya saat diperlukan ke kamar kecil. Disaat matahari menyongsong
hari cerah. Ibu terbangun dan berkata.
“Rita.”
Ibu memanggilku seusai sholat shubuh. Aku menoleh ke arah panggilan Ibu.
“Ada
apa, Bu? Ada yang bisa Rita bantu?”
“Tidak,
Nak. Ibu hanya rindu Ayah. Ibu ingin memeluk Ayah di keabadian nanti. Ibu akan
tersenyum di pelukan Ayah, Nak.”
“Apa
yang Ibu katakan? Rita tak mengerti?” Arti apa yang ada di belakang sebuah kata
dan kalimat itu. Namun, Ibu hanya memberikan kesunyian tiada arti.
Pagi
cerah pun memberikan semangat pagi nan senyum indah pelangi di cuaca yang
cerah. Aku pun berangkat sekolah, tak lupa memberi doa restu kepada Ibu sebelum
menapakkan kaki kanan menuju ke Sekolah. “Ibu hati-hati ya. Rita tak akan
tinggalkan Ibu untuk waktu yang lama. Rita akan selalu ada buat Ibu. Rita
sayang dan cinta sama Ibu karena Allah SWT.” Ibu meneteskan sebutir air mata.
Sesampainya
di koridor sekolah. Aku membuka buku Dairyku. Buku yang selalu menemaniku di
mana saja aku berada, dan selalu ada saat aku dalam keadaan apa pun. Buku Dairy
bukanlah benda mati seperti yang lain. Dialah satu-satunya sahabat setiaku di
dunia ini. Lembar demi lembar telah terisi oleh garisan tinta pena yang bukan
hal yang biasa, garisan itu mengisyaratkan sebuah kisah yang terpendam di dalam
hati. Hanya tertinggal secarik kertas putih yang masih suci tanpa noda tinta.
Ku tulis satu keinginan yang terakhir.
“Semoga Allah SWT memberikan umur
panjang dan kesehatan kepada Ibu, sehingga aku mampu membahagiakannya setiap
detik bahkan untuk selamanya. Seperti amanah yang disampaikan oleh Ayah
kepadaku. Cita-citaku menjadi dokter bisa terwujud, agar aku bisa mengobati
Ibu.”
***
Dengan
seiringnya waktu. Aku selalu belajar dan belajar. Tak pernah henti juga untuk
bekerja, dan sekaligus tak pernah lupa untuk merawat Ibu. Begitu juga
seterusnya. Tanpa aku sadari, aku mendapat peringkat satu hasil UN tertinggi
tingkat SMP se-Jawa Tengah. Muzizat Allah SWT itu benar-benar ada. Aku sangat
senang. Senang sekali. Dengan prestasi itu aku semakin giat, dan aku tak lagi
minder untuk mengikuti ajang-ajang lomba yang aku minati. Aku tak boleh putus
asa. Kepuasan ku tak hanya sampai di sini. Masih ada yang harus ku lakukan
untuk Ibu.
Aku
diterima di SMA terfavorit se-Jogja. Akhirnya aku pulang membawa setengah
kebahagiaan untuk Ibu. Ibu sangat senang mendengar cerita dariku.
Alhamdulillah.. Allah SWT telah memberi secercah kebahagiaanku. Tiga tahun kemudian, aku mendapat besiswa ke
Uner.UGM (Universitas Gajah Mada) atas prestasiku selama ini. Di sana aku
mengambil fakultas Kedokteran. Dengan seiringnya bumi berputar, aku mendapatkan
gelar sarjana satu.
Aku
telah mencapai titik harapan itu. Sungguh luar biasa pencapaianku selama ini. Secercah
harapan itu telah menjadi sebuah butir yang penuh dengan harapan. Aku sadar
semakin hari, kondisi Ibu semakin memburuk. Kulitnya mengelupas. Badan yang
semakin kurus. Begitu sarau untuk dilihat. Aku menahan tangis dalam hati.
Takkan ku biarkan Ibu melihatku menangis karenanya. Aku tak ingin menjadi beban
pikiran Ibu. Namun, aku pulang untuk membahagiakan Ibu. Seperti yang
diamanahkan oleh Ayah kepadaku.
Sesampai
di Rumah. Aku melihat bendera kuning dan banyak orang berpakaian hitam yang
sedang mengerumuni rumahku. Aku bingung “Ada apa ini?”. Ternyata di sana ada
Andhi. Andhi bilang sesuatu yang pahit kepadaku. Berita itu begitu menyayat
hati. Beribu tetesan air mata telah mengucur di pipiku. Astagfirllah. Ibu.
Inalillahi Wainalillahi Rojiun… Tak henti-henti air mata ini untuk menetes.
“Mengapa
Ibu ninggalin Rita sendiri, Bu? Rita nggak mau kehilangan Ibu untuk waktu yang
lama. Rita ingin peluk Ibu. Maafin, Rita Bu. Rita nggak bisa ngejagain dan
ngerawatin Ibu, sebagaimana Ibu telah merawat Rita dari kecil sendirian. Lihat,
Bu. Rita telah sampai titik harapan itu. Rita senang Bu. Ibu juga harus senang.
Rita ingin merayakan malam yang indah ini bersama Ibu.” Aku berlutut. Duduk di
samping Alm.Ibu, yang telah dimandikan oleh para tetangga. Air mata itu semakin
menjadi-jadi.
“Rita, gue
tahu loe kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidup loe. Tapi
kesedihan dan sikap loe yang seperti ini, tidak akan pernah mengembalikan orang
yang loe sayangi. Ini takdir. Dan terkadang, sebuah pengorbanan juga memerlukan
air mata. Loe boleh aja nangis, loe juga boleh nangis di pundak gue. Gue sedia
kok jadi sahabat loe, nemenin loe di sini. Biar loe nggak merasa sendirian.”
Aku
menangis. “Kamu memang benar. Ayah dan Ibu tidak akan pernah tenang bila
melihatku seperti ini. Aku harus bangkit karena mereka, termasuk Andhi.” Berkata
dalam hati. Aku pun bangkit memeluk Andhi.
* Kasih
Ibu mungkin tidak akan sempurna bagi hidup kita. Tapi kasih Ibu adalah
kasih tanpa balasan yang tidak akan pernah tergantikan dengan
kesempurnaan hidup apapun di dunia ini. *
Comments