Terima Kasih Dari Hati
oleh Tia Dyan Wilujeng
*)Ucapan terima kasih banyak diucapkan semua orang, baik dalam percakapan sehari-hari mau pun dalam kegiatan resmi. Namun, hanya ucapan terima kasih yang tulus dari hati yang terasa lebih bermakna bagi orang yang menerimanya.
Pada zaman sekarang, sudah sangat jarang kita temuka orang yang melakukan sesuatu dengan tulus. Aku pernah mendengar "Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang." Aku bertanya pada diriku sendiri "Lalu bagaimana dengan orang miskin, sementara masih banyak orang yang hidup melarat di tengah-tengah orang kaya? Tidak adakah sesuatu dari mereka yang bisa kita ambil di luar uang dan jabatan?" Pertanyaan itu seakan melayang, melingkari kepalaku. Kini bayanganku tanda tanya telah menaburkan sesuatu di rambutku. Semua itu bercokol di pikiranku hingga kutemukan jawaban.
*)Ucapan terima kasih banyak diucapkan semua orang, baik dalam percakapan sehari-hari mau pun dalam kegiatan resmi. Namun, hanya ucapan terima kasih yang tulus dari hati yang terasa lebih bermakna bagi orang yang menerimanya.
Pada zaman sekarang, sudah sangat jarang kita temuka orang yang melakukan sesuatu dengan tulus. Aku pernah mendengar "Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang." Aku bertanya pada diriku sendiri "Lalu bagaimana dengan orang miskin, sementara masih banyak orang yang hidup melarat di tengah-tengah orang kaya? Tidak adakah sesuatu dari mereka yang bisa kita ambil di luar uang dan jabatan?" Pertanyaan itu seakan melayang, melingkari kepalaku. Kini bayanganku tanda tanya telah menaburkan sesuatu di rambutku. Semua itu bercokol di pikiranku hingga kutemukan jawaban.
***
Matahari telah tenggelam di ufuk barat. Maghrib baru saja berlalu. Saat mom menyuruhku untuk mengantarkan makanan kepada tetangga. Kebetulan di rumah sedang mengadakan keberhasilanku di pertandingan, sehingga mom membagi-bagikan kepada para tetangga sekitar. Aku benar tak menyangka. Sepiring makanan itu membawaku pada kisah lembaran yang tak akan pernah bisa terlupakan.
Tetangga yang aku beri makanan malam ini telah lanjut lansia. Mereka hanya tinggal berdua di sebuah rumah butu yang bagiku, itu semua sangat kumuh. Rumah itu sungguh tak layak untuk dihuni. Tidak ada cucu, anak atau pun mantu yang mengiringi hari tua mereka. Kehidupan dua lansia itu sangatlah sederhana. Sangat jauh dari kemewahan dan kecukupan yang sewajarnya. Sang kakek berprofesi sebagai tukang semir sepatu dan sangatlah dihiraukan, sang kakek sudah katarak. Parau melihatnya bertatih. Sedangkan sang nenek hanya ibu rumah tangga yang berdiam diri di atas tempat tidur, beliau menderita penyakit lumpuh yang belum jelas akibatnya apa? Karena mereka tak sanggup untuk menyukupi kesehatannya sendiri. Hasil jerih payah sang kakek, hanya mencukupi untuk kebutuhan pangan saja. Sungguh ironisnya. Negara sudah berkembang pesat, bangsa yang semakin maju, namun masih ada yang menderita. Jika, diperhatikan dari sisi materi, kehidupan ekonomi dua lansi ini sangatlah tidak ada yang istimewa.
***
Aku melangkahkan ketika menuju kamar nenek. Terlihatlah nenek yang berbaring begitu lemas. Hatiku serasa terkikis. Sangat menyayat hati. Kamar nenek begitu penyap aku rasakan. Namun nenek masih bisa tersenyum. Begitu tegarnya beliau hidup diantara kesusahannya. Nenek membuatku sadar akan arti hidup. Jalannya hidup yang terlihat lurus, belum tentu, langkah demi langkah untuk melewati jalan itu tidak semanis madu, namun sepahit obat pil.
Kakak yang mengiringi langkahku menuju kamar nenek tadi ikut menyambut kedatanganku. Begitu pun juga nenek yang tersenyum manis padaku. Wajah keduanya menyungging senyum di pipi yang sudah berkeriput dengan wajah sumringah. Tanpa aku sadari, aku telah meneteskan satu titik air mata. Sekilat mungkin aku menghapus tetesan air itu. Aku tak mampu membendung perasaan dengan air mataku. Aku juga tak mau mereka ikut bersedih. Maksud dan tujuanku ke sini untuk membawakan beberapa sebagian kebahagiaan dari hidupku. Aku pun ikut tersenyum pada wajah-wajah teduh di hadapanku. Wajah yang penuh perjuangan dalam menitih kehidupan yang keras. Tapi mereka....Alhamdulillah. Mereka tak kenal lelah. Masih mampu untuk tersenyum dalam keterbatasan akan harta dan materi.
Aku lalu memberikan makanan yang tadi ku bawa dari rumah. Kakak dan Nenek itu mengucapkan terimakasih banyak padaku. Bukan hanya sekali, namun berulang-ulang kali ucapan itu mereka luntarkan dengan yang bergetir pelan dan wajah yang se-sumringah mungkin. Aku juga mendengar sang Nenek meluncurkan kata demi kata sebagai ungkapan kebahagiaan hatinya. Entah mengapa? 'aku merasa ada yang berbeda dari ucapan terimakasih itu. Padahal, jau hari sebelumnya aku sering memberikan sesuatu kepada orang kasih di sekitarku, dan sama-sama menerima ucapan terimakasih.
Memang, kebanyakan dari yang lain hidupnya lebih beruntung dibandingkan Kakek dan Nenek itu. Lauk-Sayur-Nasi yang kuberikan menjadi hal yang biasa bagi mereka. Sehingga ucapan terimakasih yang terdengar di telingaku juga terasa biasa-biasa saja. Lain halnya dengan dua orang yang lansia itu, yang mengucapkan terimaksih setulus hatinya. Aku merasa itu semua benar-benar dari hati yang dalam, tidak hanya keluar dari mulut saja, namun juga keluar dari aroma hati yang penuh ketulusan. Mereka meluncurkan kata itu tak sekadar mengucapkannya sebagai suatu keharusan yang sudah semestinya dikatakan saat mendapat sesuatu dari orang lain. Tapi ucapan itu keluar dari hati yang dalam, karena mendapatkan sesuatu yang tidak biasa bagi mereka meskipun bagi orang lain sudah sangat dan sering biasa.
Kakak yang mengiringi langkahku menuju kamar nenek tadi ikut menyambut kedatanganku. Begitu pun juga nenek yang tersenyum manis padaku. Wajah keduanya menyungging senyum di pipi yang sudah berkeriput dengan wajah sumringah. Tanpa aku sadari, aku telah meneteskan satu titik air mata. Sekilat mungkin aku menghapus tetesan air itu. Aku tak mampu membendung perasaan dengan air mataku. Aku juga tak mau mereka ikut bersedih. Maksud dan tujuanku ke sini untuk membawakan beberapa sebagian kebahagiaan dari hidupku. Aku pun ikut tersenyum pada wajah-wajah teduh di hadapanku. Wajah yang penuh perjuangan dalam menitih kehidupan yang keras. Tapi mereka....Alhamdulillah. Mereka tak kenal lelah. Masih mampu untuk tersenyum dalam keterbatasan akan harta dan materi.
Aku lalu memberikan makanan yang tadi ku bawa dari rumah. Kakak dan Nenek itu mengucapkan terimakasih banyak padaku. Bukan hanya sekali, namun berulang-ulang kali ucapan itu mereka luntarkan dengan yang bergetir pelan dan wajah yang se-sumringah mungkin. Aku juga mendengar sang Nenek meluncurkan kata demi kata sebagai ungkapan kebahagiaan hatinya. Entah mengapa? 'aku merasa ada yang berbeda dari ucapan terimakasih itu. Padahal, jau hari sebelumnya aku sering memberikan sesuatu kepada orang kasih di sekitarku, dan sama-sama menerima ucapan terimakasih.
Memang, kebanyakan dari yang lain hidupnya lebih beruntung dibandingkan Kakek dan Nenek itu. Lauk-Sayur-Nasi yang kuberikan menjadi hal yang biasa bagi mereka. Sehingga ucapan terimakasih yang terdengar di telingaku juga terasa biasa-biasa saja. Lain halnya dengan dua orang yang lansia itu, yang mengucapkan terimaksih setulus hatinya. Aku merasa itu semua benar-benar dari hati yang dalam, tidak hanya keluar dari mulut saja, namun juga keluar dari aroma hati yang penuh ketulusan. Mereka meluncurkan kata itu tak sekadar mengucapkannya sebagai suatu keharusan yang sudah semestinya dikatakan saat mendapat sesuatu dari orang lain. Tapi ucapan itu keluar dari hati yang dalam, karena mendapatkan sesuatu yang tidak biasa bagi mereka meskipun bagi orang lain sudah sangat dan sering biasa.
***
Hari itu aku seperti terharu. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Aku memang terharu. "Apa yang bisa kita ambil dari orang-orang miskin itu di luar uang dan jabatannya, karena nantinya semua itu tidak akan pernah dibawa mati" dari hati. Setidaknya kita memandang dari kelebihannya, bukan kekurangan atau kelemahannya.
Hidup adalah anugerah yang diberikan oleh Tuan Yang Maha Esa. Kita tidak akan hidup di dunia ini, jika buka karena-Nya. Maka kita harus syukuri kehidupan kita sesuai takdir yang telah diberikan-Nya. Jangan memiliki banyak harta atau pangkat membuat ketulusan hati kita menjadi luntur. Di luar sana masih banyak orang-orang kurang mampu membutuhka uluran tangan yang benar-benar tulus dari hati.
Comments