Lara Hati
Karya : Tia Dyan Wilujeng
Jam tiga belas
lebih dua puluh tiga menit. Di hari Sabtu. Saat aku akan pulang sekolah. Aku
dipanggil untuk ke ruang TU. Bahwa aku harus ke Rumah Sakit. Aku menuju ke sana
dengan menaiki mobil Bu Laras. Kami melaju meninggalkan sekolah yang akan sepi
dengan kerumunan murid-murid. Dengan hati cemas, dan memendam seribu pertanyaan. Mudah-mudahan
hal yang tidak ku inginkan tidak akan terjadi apa-apa. Akan baik-baik saja.
Tibalah kami di Rumah Sakit. Aku kaget dan terbelalak. Melihat Rumah Sakit yang
ternyata dimana Bundaku di rawat di sini. Kami menuju ke kamar rawat dimana
ibuku dirawat di kamar itu. Dan air mataku mulai membasahi kedua pipiku.
Tanganku dingin dan bergetar. Melihat Ayah yang sedang memeluk Bunda yang telah
ditutup oleh kain putih. Bu Laras terdiam dan menangis. Ayah melihatku. Kemudian
kedua tangannya mengembang. Mengatakan sesuatu padaku dengan bahasa tubuhnya
yang pasti ku akan mengerti. Ayahku adalah seorang Ayah yang bisu-tuli.
“Larisa, sayang. Kemarilah, dalam
pelukan Ayah, nak”
“Ayah apa yang telah terjadi?” Ku
masih tetap menangis. Ayah membalas pertanyaanku dengan bahasa tubuhnya lagi.
“Ibundamu telah berada di sisi Allah SWT, nak. Biarkanlah ibumu tenang di alam
sana, sayang.”
“ Ayah ini tidak mungkin terjadi.
Tidak mungkin. Tidak mungkin. Tidak mungkin Ayah.” Ayah memelukku. Aku masih
tak percaya. Bunda pergi meninggalkanku dengan begitu cepat rasanya. Aku akan
coba menerima keadaan ini dangan tabah dan ikhlas. Ibundaku meninggal akibat
penyakit yang di deritanya sudah cukup lama. Sekarang hanya tinggal kenangan
yang terikat dalam pikaranku Bunda.
***
Saat kematian Bunda. Kehidupanku
terasa sunyi. Aku masih belum bisa menerima kejadian itu. Aku dan Ayah memulai
kehidupan lagi. Tetapi rasa ini begitu tidak lengkap. Aku sayang pada Bunda.
Tetapi aku tak begitu sayang pada Ayah. Sejak Bunda tak ada lagi di sisiku. Setiap
aku berangkat sekolah. Bunda yang menemaniku hingga ke Sekolah. Sekarang hanya
Ayah selalu mengantarku dengan bersepeda. Setiap aku diantarnya, Ayahku berkata
padaku “Seorang Ayah yang tidak bisu dan
tuli” dengan bahasa isyarat yang ia pakai dan diberikan padaku. Aku tak
menanggapinya. Aku membalikkan badanku dan jalan meninggalkannya. Saat Bundaku
tak lagi ada. Saat itu juga aku sering diejek oleh teman-temanku, dan mulai banyak
yang tidak mau berteman kepadaku. Ini semua pasti gara-gara aku sekarang hanya
mempunyai seorang Ayah yang bisu-tuli. Aku mulai benci pada Ayah saat ini.
Karena Ayah aku jadi begini. Sampai suatu hari, ada yang menempelkan kertas di
punggungku saat aku sedang makan di kantin. Aku menyadari kehadiran kertas itu
di tubuhku. Karena semuanya mulai menertawakan aku. Pandangan mata mereka
menuju ke punggungku. Segeralah aku memegang belakang tubuhku. Ternyata aku
benar. Ada selembar kertas di sana. Segeralah aku mengambilnya. Dan aku
membacanya. Kertas itu berisi “BAPAK BISU DAN BODOH”. Aku menggenggam kertas
itu. Meremaskannya. Merobeknya. Aku lari ke kamar mandi. Aku menangis di sana.
“Ini semua karena aku punya Ayah bisu-tuli seperti Ayahku saat ini. Aku mau
Ayah yang lebih baik. Aku benci Ayah.” Waktu terus bergulir cepat. Seperti air
mengalir dengan lancarnya arus. Dan Kamis pagi. Saat makan bersama.
“Aku ingin punya Ayah yang normal,
seperti anak-anak lain.” Ayahku tak menanggapinya. Akupun berangkat sekolah.
Dan selalu setiap harinya Ayah mengantarku. Setelah sampai di sekolah. Ayahku
selalu berkata “Seorang Ayah yang tidak
bisu dan tuli” dengan bahasa isyarat yang ia pakai dan diberikan padaku.
Hingga di kelasku. Aku menemukan kalimat yang tak asing lagi bagiku di papan
tulis. “BAPAK BISU DAN BODOH”. Hingga sekarang teman-temanku masih tetap
begitu. Aku semakin benci dan malu mempunyai Ayah bisu-tuli.
***
Tiga hari kemudian. Pada malam hari.
Yang gelap, dan sunyi. Ayah sedang tertidur dengan lelap. Akupun menulis buku Diary
dengan terakhir kalinya.
Dear
Diary,
Bandung,
16/12/2009; 23.21
Hanya
seorang Ayah yang mempu mendengar kerinduan anaknya.
Hanya
seorang Ayah yang bisa bicara yang akan mengerti anaknya.
Ayah
aku ingin kau tahu? Sebenarnya ku malu mempunyaimu. Aku tak sanggup hidup lagi
bersamamu. Aku tidak tahan menahan beban hanya karenamu. Aku memutuskan untuk pergi
malam hari ini. Keputusanku sudah bulat. Aku akan pergi dengan uang tabunganku.
:(:(:(
^_^
Malam hari ini aku pergi dari rumah
tanpa sepengetahuan Ayah. Hanya buku Diaryku yang ku tinggalkan di kamar
tidurku. Akupun akhirya memutuskan untuk pergi. Aku akan hidup jauh dari Ayah.
Aku akan melupakan masa laluku yang sangat pahit ini. Aku akan pergi ke
Jakarta. Dengan menaiki bis. Sesampai di terminal Jakarta. Aku bertabrakan
dengan seorang tante-tante yang berpakaian kantoran. Tante itu bernama tante Narisa.
Kami berbincang –bincang cukup lama. Tiba-tiba, dia menganggapku sebagai anak.
Dan aku disuruhnya untuk memanggilnya “Mama” dan menganggapnya sebagai
orangtuaku. Karena dia dan suaminya tidak di karuniani seorang anak hingga
sekarang. Itu semua karena tante Narisa mengalami kemandulan. Aku sangat
beruntung hari ini. Bertemu sekali setelah itu dianggap anak olehnya. Walaupun
ini semua canggung untuk ku hadapi. Tetapi ku akan terbiasa. Sekarang hidupku
berubah. Hidup di rumah mewah seperti ini adalah impianku sejak Bunda telah
tiada. Aku di sekolahkan olehnya yang begitu mewah. Beberapa bulan kemudian aku
duduk di kelas IX. Aku masih tetap hidup bersama Mama baruku. Aku bahagia hidup
dengannya. Dia adalah pengganti Bunda.
***
Beberapa 3 Bulan kemudian. Saat
kepergianku di sisi Ayah. Ayah telah membaca buku Diaryku. Sebenarnya Ayah tak
berani menbuka buku Diaryku. Apalagi membacanya. Tetapi Ayah penasaran dengan
sikapku yang mulai berubah saat peninggalan Bunda dan sekarang pergi dari
kehidupannya. Akhirnya Ayah terpaksa membuka dan membaca buku Diaryku. Memang
ku sengaja buku itu ku tinggalkan untuk dibacanya. Dia menangis. Raut wajahnya
penuh dengan rasa penyesalan. Dia menulis sesuatu di buku Diaryku itu.
Untuk
anakku tersayang, Salsa
Di
tempat.
Bandung,
03?03?2009
Ayah
sayang padamu nak. Ayah akan menunggumu dengan ketulusan Ayah padamu nak. Untuk
kamu buat keputusan, apa kamu sayang Ayah juga? Setelah Ibundamu telah tiada
dan meninggalkan kita. Seberapa lamapun, Ayah nggak pernah menyerah. Apapun
yang terjadi Ayah sayang sama kamu dengan segenap hati. Maafkan Ayah,
sayang.Ayah dilahirkan sebagai bisu-tuli. Oleh karena itu Ayah meminta maaf.
Ayah memang tak bisa bicara seperti Ayah-ayah yang lain.
Love
Ayah
Dan menutup buku itu setelah menulisnya.
Ayah memutuskan diri untuk bertemu kepadaku. Dan membawa buku Diarynya. Untuk
acara Wisudaku di Sekolah. Sehingga dia menaiki bis. Beberapa jam kemudian. Dia
telah sampai di Jakarta. Dimana anaknya yang pergi dengan tanpa izin. Melarikan
ke Kota ini. Sungguh rasanya dia cepat-cepat membunuh rasa rindunya kepada
anaknya. Tanpa makan dan hanya minum. Derik matahari menyorot badanku. Terasa
sangat amat panasnya. Menguras tenaga energi yang ada dalam tubuh. Dan akhirnya
menemukan alamatnya juga. Alamat dimana Salsa bersekolah. Ayah bangga melihat
anaknya yang sukses dalam mencari ilmu saat ini. Tibai-tiba, Yunan teman SD ku
hingga SMP saat ini. Berlarian menuju ke arahku. Aku bingung. Dia memberitahukanku
tentang keberadaan Ayah. Ayah hari ini datang ke Wisudaku. Ini tidak mungkin. Aku
tak bisa melarainya. Mana mungkin aku berkata pada Yunan bahwa itu bukan
ayahku. Yunan telah tahu semua sejak SD. Aku tak akan menemuinya. Bila ku
bertemu. Aku akan malu.Tiba-tiba ada suara yang terdengar dari telinga kanan aku.
“BRRRUUUKKK”
Akupun beralih pandangan dari pusat
titik suara itu. Aku kaget dan terbelalak. Melihat apa yang telah terjadi di
sana. Aku berlari. Menopang leher bagian belakangnya. Aku menangis histeris.
Melihat kacelakaan itu dengan mata telanjang. Dan melihat darah penuh kececeran
di sekitar tubuhnya. Aku memeluknya erat. Tidak peduli baju terikuti lumuran
banyak darah. “Ohh. Ayah maafkanlah aku. Aku telah memberimu perlakuan yang tidak
pantas untukmu. Aku menyesal Ayah. Ayah jangan tinggalkan aku sendiri. Ayah
maafkanlah anakmu ini Ayah. Aku hanya malu karenamu. Aku menyesal dengan
perbuatanku kepadamu. Aku yang salah Ayah.“
Mobil yang berlaju dengan cepat.
Berbunyi “Niun,,niun” kami semua siap pergi ke Rumah Sakit. Hingga sampai di
Rumah Sakit, Ayah segera diperiksa oleh Dokter. Tetapi Tuhan sudah berkehendak
lain. Ayah pergi untuk selama-lamanya.
***
Saat ini aku hidup sendiri. Aku
menyesali diri. Tidak ada yang menemaniku di hari-hariku. Aku teringat pada
buku Diaryku yang saat itu berada di samping Ayah di tempat kejadian. Sekarang
aku yang membawa buku Dairy itu. Segera aku mencari buku Dairy itu. Setelah aku
temukan. Aku mendekapnya erat. Menangis ”Hikkss... hikss...”. Teringat
hari-hariku bersama Ayah.
Aku membuka buku Dairy itu. Pada
halaman Bulan Maret tanggal 3. Tepat pada tanggal saat Ayah meninggalkanku. Aku
membacanya. Air mataku terjatuh tiap tetesan. Aku sadar Ayah. Aku yang salah.
Bukan Ayah. Kenapa saatku mengetahui semua. Ayah begitu cepat meninggalkanku.
Ampuni aku Ayah. “Tidak ada Ayah yang sempurna. Karena engkau telah merawatku
dengan segenap hatimu.”
Terinspirasi oleh sebuah Video “Silence
of Love” produksi Life Thai Insurance
Comments